Total Tayangan Halaman

Selasa, 14 Mei 2013

Siapa Mau Jadi Guru?

Tadi saya mendapatkan pengalaman menarik yang mudah-mudahan cukup menarik untuk dijadikan tulisan disini. Kebetulan saya menjadi anggota Tim Penilaian Kinerja Pelayanan Publik Kota Yogyakarta. Tujuan pembentukan tim ini adalah untuk menilai kinerja pelayanan publik di Kota Yogyakarta seperti bidang pendidikan (dilakukan pada sekolah mulai dari jenjang SD, SMP, SMA/SMK), kesehatan (dilakukan pada Rumah Sakit dan Puskesmas), dan lain-lain instansi yang melakukan pelayanan langsung kepada masyarakat. Setelah dilakukan penilaian akan ditindaklanjuti dengan evaluasi dan perbaikan terhadap area yang dinilai masih belum memuaskan, istilah kerennya sih continuous improvement.

Tapi, sekali lagi bukan hal-hal serius seperti diatas yang akan saya bahas. Hal-hal serius memerlukan usaha lebih dengan sitasi dan referensi yang akuntabel dengan konsep-konsep serta teori yang dapat dipertanggungjawabkan. Kalau itu saya lakukan, maka saya sudah murtad dari tujuan awal saya menulis di blog, yaitu untuk menghilangkan stres. Tulisan serius cuma menjadi stressor bagi batin yang lemah ini (Ohhh... yes...)

Cerita bermula saat saya melakukan penilaian pada salah satu SMA unggulan di Kota Yogyakarta. Proses penilaian berlangsung santai, kebetulan guru (wakasek) yang mendampingi orangnya ramah dan suka guyon. Agar suasana penilaian tidak begitu kaku, kadang-kadang obrolan keluar dari topik untuk sekedar mencairkan suasana.

Kemudian Bapak Wakasek bercerita tentang lulusan SMA ini yang 97% diterima pada beberapa perguruan tinggi ternama di negeri ini. Akan tetapi ada fenomena yang menarik tapi membuat miris disini, yaitu fakta bahwa 0% dari lulusan tersebut yang melanjutkan kuliah di bidang keguruan dan ilmu pendidikan. Bayangkan, tak satupun dari siswa yang cerdas dan pintar itu yang ingin jadi guru!!! Memang hal ini belum bisa dijadikan sampel yang akurat untuk menjustifikasi bahwa keadaan ini merupakan hal yang umum pada sekolah unggulan di Yogyakarta, apalagi Indonesia. Namun secuil gambaran yang diperlihatkan disana membuat saya berpikir bahwa dalam benak siswa-siswa yang cerdas dan pintar itu sudah tertanam jika profesi sebagai guru bukanlah profesi yang dicita-citakan.

Pertanyaan selanjutnya adalah, kenapa mereka tidak bercita-cita menjadi seorang guru? Dugaan paling sederhana yang menjadi penyebabnya adalah prestise menjadi seorang guru yang masih dianggap jauh dibawah profesi lain (kebetulan lulusan SMA ini mayoritas meneruskan kuliah pada Fakultas kedokteran, teknik, psikologi, dan akuntansi). 

Lantas, apa urusannya kalau mereka tidak ingin jadi guru? Panjang saudara-saudara, urusannya jadi sangat panjang! Dunia pendidikan kita akan semakin jauh tertinggal ketika tunas-tunas terbaik sangat sedikit yang memilih menjadi pendidik. Generasi selanjutnya bangsa ini akhirnya tidak dididik oleh yang terbaik.

Padahal melalui pemberian tunjangan sertifikasi bagi guru, pemerintah sudah berusaha meningkatkan antusiasme lulusan SMA untuk menjadi guru (walau mungkin masih belum se-menjanjikan profesi lain yang sudah lebih dulu populer). Tapi, apakah hanya sisi materi yang dijadikan patokan? Apakah manusia sudah sedemikian materialistis hingga penghargaan terhadap profesi yang mulia tersebut menjadi sangat rendah? Padahal disisi lain, dalam Islam, salah satu sumber pahala yang akan terus mengalir ketika seseorang sudah meninggal dunia adalah "Ilmu yang Bermanfaat". Ambil contoh paling sederhana, guru kelas 1 SD yang mengajari muridnya membaca. Bayangkan betapa deras sungai pahala yang mengalir kedalam pundi-pundi amal seorang guru yang mengajari ratusan bahkan ribuan murid mengeja huruf A sampai Z!! Sampai si murid mati, dia pasti akan tetap menggunakan 26 huruf tersebut dalam kehidupan sehari-harinya! Seandainya ada diantara murid tersebut yang juga menjadi guru kelas 1 SD, maka ilmu yang bermanfaat tadi berlanjut, mungkin ini bisa dihitung sebagai multi level marketing-nya pahala, semakin banyak downline-nya semakin melimpah aliran pahala yang masuk.

Dari uraian ngawur diatas, bukankah jelas betapa menariknya "insentif" bagi seorang guru. Tetapi kenapa dalam kenyataan "insentif" tersebut menjadi kurang menarik? Mungkin karena imbalan yang diterima tidak nyata. Insentif "bayangan" yang sering tersamar dalam dunia yang semakin hedonis.

Lantas apa simpulan yang dapat ditarik dari uraian ngawur diatas? Ngga ada!! Namanya juga tulisan ngawur.  Hanya sekedar untuk melepaskan unek-unek kok. Memangnya saya siapa sampai berhak nyuruh-nyuruh anak orang supaya jadi guru!

Dan seandainya ada seseorang yang nyasar ke blog ini dan membaca seluruh kengawuran diatas bertanya kepada saya "Trus kenapa lu ga jadi guru?"
Jawaban saya sederhana, "kalo gurunya sudah kencing berlari, takutnya ntar muridnya kencing sambil terbang"

Salam ngawur!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar