Total Tayangan Halaman

Sabtu, 18 Mei 2013

Piye Kabare Le?

Belakangan hari saat saya melintasi jalan-jalan Yogya sering terlihat gambar Pak Harto. Gambar tersebut terlukis dibagian belakang truk pengangkut barang, tertempel dikaca mobil pribadi, melekat pada kaos oblong tukang becak, menghiasi tembok-tembok kota dalam bentuk mural, dan berbagai media lainnya. Gambar tersebut dihiasi dengan tulisan yang menggelitik "Piye kabare le? Isih penak jamanku tho?" yang artinya kurang lebih "bagaimana kabarmu nak? masih enak zamanku kan?" (maap kalo terjemahannya kurang pas). Mungkin generasi yang lahir pada era 90-an tidak begitu memahami hal ini. Mungkin mereka tahu melalui buku-buku, cerita, ataupun melalui internet mengenai keadaan dizaman Pak Harto. Tetapi mereka tidak akan memahami atau mengerti sepenuhnya karena tidak merasakan masa orde baru.

Gambar beserta tulisan itu merupakan bentuk kerinduan masyarakat kecil akan stabilitas dan kepastian. Beberapa kali saya mendengar obrolan tentang hal itu, bagaimana masyarakat kecil dengan menggebu memberi pujian setinggi langit pada Pak Harto atas stabilitas yang diwujudkannya, baik dibidang politik maupun ekonomi. Pada saat bersamaan seringkali sumpah serapah ditujukan pada pemerintahan sesudahnya. Saya hanya diam mendengarkan dan berusaha untuk tidak terlibat dalam perbincangan. Saya diam bukan karena setuju dengan apa yang mereka katakan tetapi saya diam karena saya mengerti dengan apa yang mereka rasakan. Pujian mereka lebih cenderung tertuju pada stabilitas ekonomi yang diberikan orde baru pada mereka karena mereka cenderung kurang peduli pada masalah politik.

Akan tetapi saya akan memberi reaksi berbeda jika ucapan seperti itu saya dengar terlontar dari mulut orang yang saya rasa cukup berpendidikan. Saya akan membantah karena saya tidak setuju dengan apa yang mereka katakan dan saya tidak mengerti dengan jalan pikiran yang mereka gunakan.

Memang harus diakui, pada saat orde baru terdapat sebuah stabilitas yang panjang. Tapi harga stabilitas itu mungkin terlalu mahal terutama bagi orang-orang yang merasakan langsung tindakan represif rezim orde baru. Tapi disini saya tak akan membahas persoalan politik. Itu bukan bidang saya dan saya tak begitu suka dengan hal tersebut, dan lagi pada batas-batas tertentu saya cenderung setuju dengan cara-cara represif yang dilakukan orde baru untuk menegakkan stabilitas politik dalam negeri.

Saya akan mencoba membahas stabilitas ekonomi yang ada pada zaman orde baru. Untuk bidang ekonomi mungkin saya bisa lah membahas sedikit-sedikit. Tapi pembahasan saya hanya pembahasan sederhana yang tidak akan bergelut dengan data dan angka-angka.

Ucapan yang paling sering saya dengar saat memperbincangkan Pak Harto dengan orde baru-nya adalah "zaman Pak Harto enak, apa-apa murah". Seperti yang sudah saya katakan, saya bisa mengerti ketika hal ini terlontar dari mulut orang awam. Tapi jangan sekali-kali hal ini terucap dari mulut orang yang memiliki pendidikan memadai, apalagi jika pendidikan itu berlatar belakang ilmu ekonomi.

Analogi sederhananya adalah; coba anda bayangkan seandainya ada tetangga anda yang tinggal disebuah rumah mewah, punya mobil bagus, gadget anak-anaknya selalu model terbaru dari kelas high end, setiap hari mereka makan makanan mewah, dan memakai pakaian mahal. Anak-anaknya banyak dan tentu saja kelakuannya juga beraneka ragam. Ada yang patuh dan sayang sama orang tuanya dan ada juga yang bandel. Untuk anak yang bandel, si Bapak tidak segan-segan main tangan dan terkadang kelewatan.

Tiba-tiba pada suatu hari si bapak meninggal dunia. Tanggung jawab rumah tangga jatuh pada anak tertua. Pada saat itulah masalah muncul, ketika datang beberapa orang bertampang sangar datang menagih utang. Ternyata segala kemewahan yang dinikmati oleh keluarga tetangga anda itu dibiayai dengan utang. Anak tertua yang kini bertanggung jawab atas kehidupan keluarga besar itu tentu saja pusing, akhirnya terpaksa menjual aset berupa barang-barang yang ada dirumah dan membuat utang baru yang akan digunakan untuk membayar utang lama. Pada saat bersamaan adik-adiknya yang tidak mengerti permasalahan mulai berkeluh kesah dan membanding-bandingkan serta berkata "lebih enak waktu bapak masih ada ya". 

Mereka tidak tahu dan tidak memahami bahwa apa yang mereka rasakan saat ini tidak lain merupakan akibat dari apa yang dulu dilakukan bapaknya. Mereka tidak mengerti kesulitan si kakak yang mewarisi dan bertanggung jawab terhadap pelunasan utang-utang bapaknya. Dan parahnya lagi, dikemudian hari ditemukan bahwa sebagian besar utang si bapak tidak digunakan untuk kesejahteraan rumah tangganya, entah dipakai untuk apa.

Kurang lebih seperti itulah yang terjadi pada negeri ini. Saya tidak membela rezim setelah orde baru karena pada kenyataannya masalah utang ini diperparah dengan prilaku menumpuk utang yang tidak jauh berbeda dengan rezim orde baru. Padahal kalau saya tidak salah, diakhir zaman orde baru tiap manusia yang ada di Indonesia sudah menanggung utang sebesar enam juta rupiah perkepala dengan nilai uang saat itu dengan jumlah penduduk lebih dari 200juta manusia (*). 

Beda antara rezim orde baru dengan rezim setelahnya hanya pada masalah kebebasan. Saat ini semua lebih bebas, bebas berbuat sekehendak hatinya melalui demo anarkis atau premanisme berkedok agama dan bebas bicara apa saja tanpa menimbang dampak yang ditimbulkan. Suatu hal yang nyaris tak mungkin terjadi dizaman orde baru. Tapi tetap saja, masyarakat awam tidak begitu peduli dengan urusan politik. Bagi sebagian besar mereka, asalkan bisa makan layak, punya rumah layak, bisa menyekolahkan anak, dan semua kebutuhan dasar mereka bisa terpenuhi. Peduli setan siapa yang berkuasa, peduli setan dengan kebebasan bicara!! Benarlah pepatah yang mengatakan bahwa "mulut yang penuh takkan bersuara". Pun seandainya bersuara, paling-paling yang terdengar adalah suara cepak saat mengunyah atau sendawa setelah makan karena kekenyangan.

Akan tetapi anggapan "lebih enak zaman Pak Harto" mungkin masih bisa diterima jika dibatasi pada perbandingan keadaan (terutama bidang ekonomi) tanpa mempermasalahkan sebab akibat. Kondisi "lebih enak" yang terbatas pada kulit luar dan apa yang dirasakan tanpa memikirkan darimana dan bagaimana "keenakan" itu datang. Sebuah kepasrahan yang menafikan intelektualitas dan pemikiran.

Jadi, bagaimana menurut anda? Lebih enak mana?

(*) Kalimat ini butuh data penunjang yang akurat, tetapi saya cukup malas untuk googling perihal masalah yang satu ini.

1 komentar:

  1. lebih enak "nrimo ing pandum" kalo "pandum"nya dirasa kurang ya carilah dengan cara yang baik...

    BalasHapus