Total Tayangan Halaman

Minggu, 14 Juli 2013

Apakah Harus Dinar/Dirham?

Ekonomi syariah, anda pasti sering mendengar atau membaca terminologi ini. Digadang-gadang sebagai sebuah solusi paling top dalam mengatasi permasalahan perekonomian yang ada. Tapi sayangnya semua masih sebatas wacana. Dalam kondisi perekonomian dunia seperti saat ini yang saling terkait secara global, penerapannya masih terbatas pada angan-angan, paling banter yang bisa dilakukan adalah penerapannya secara sektoral. Jangankan untuk bicara penerapannya secara global, bahkan untuk menerapkannya pada negara-negara Islam ataupun negara dengan mayoritas muslim masih sangat sulit.

Kali ini saya tidak akan membahas masalah ekonomi syariah secara luas karena sejujurnya pemahaman saya akan masalah ini masih sangat terbatas. Saya hanya ingin membahas masalah ini dari satu sudut sempit yaitu alat tukar yang akan digunakan dalam ekonomi syariah. Banyak disebut-sebut tentang penggunaan dinar/dirham sebagai bagian tak terpisahkan dalam ekonomi syariah. Dinar/dirham dikatakan memiliki nilai yang stabil dari waktu ke waktu. 

Hal ini tidak sepenuhnya salah. Nilai intrinsik yang terkandung dalam emas/perak memang memungkinkan untuk itu. Tapi percayalah, itu semua tidak menjamin bahwa jumlah suatu barang/jasa yang bisa diperoleh dengan emas/perak akan memiliki kuantitas yang tetap selamanya. Sering saya mendengar gembar-gembor dari penggiat ekonomi syariah tentang kestabilan nilai emas/perak sejak dulu kala hingga saat ini. Benarkah demikian? Apakah sesederhana itu?

Mari kita lihat sebuah pengandaian yang sangat sederhana. Misalkan dalam sebuah perekonomian sebuah negara terdapat 1000 dinar yang beredar dan jumlah barang/jasa yang dihasilkan juga berjumlah 1000, maka hitungan paling gobloknya adalah bahwa harga setiap 1 (satu) barang/jasa yang dihasilkan adalah 1 (satu) dinar.
Selanjutnya, apa yang akan terjadi seandainya terjadi kenaikan produksi barang/jasa menjadi 1200 sementara jumlah dinar yang beredar tetap 1000? Maka sudah pasti akan terjadi deflasi. Harga satuan barang/jasa akan turun dari 1 dinar menjadi 0,83 dinar.

Sebaliknya, jika ternyata pemerintah mengedarkan lebih banyak dinar menjadi 1200 dinar sementara jumlah barang/jasa yang diproduksi negara tersebut tetap 1000, maka akan terjadi inflasi. Harga satuan barang/jasa yang dihasilkan akan meningkat menjadi 1,2 dinar.

Dari uraian diatas dapat kita lihat bahwa pada kenyataannya nilai dinar/dirham tetap tidak sestabil yang dibayangkan. Semua tetap tergantung pada keseimbangan antara pasar barang dan pasar uang. Dinar tersebut baru bisa memiliki nilai yang 100% stabil seandainya keseimbangan antara dinar yang beredar dengan jumlah produksi barang/jasa tetap terjaga. Dan sekali lagi saya tekankan bahwa ilustrasi diatas merupakan PENYEDERHANAAN yang sangat sangat sederhana. Dalam kenyataan tentu saja harga barang/jasa dipengaruhi banyak hal. Suatu barang/jasa, bisa saja mengalami kenaikan harga akibat kenaikan permintaan atau karena dorongan kenaikan biaya produksi.

Masalah selanjutnya dalam penggunaan dinar/dirham adalah jumlahnya yang terbatas. Seperti tergambar pada ilustrasi diatas, seandainya pemerintah hendak mempertahankan kestabilan nilai dinar/dirham maka ketika terjadi kenaikan produksi barang/jasa, pemerintah harus menyediakan suplai dinar/dirham dengan jumlah sebanding. Pertanyaannya, apakah setiap negara mampu melakukan hal itu, padahal seperti kita ketahui bahwa tidak semua negara memiliki tanah yang mengandung cukup cadangan emas. Lantas bagaimana penerapan eknomi syariah pada negara-negara seperti ini? Apakah mereka tidak boleh/bisa menerapkan ekonomi syariah meskipun katakanlah negara tersebut adalah sebuah negara Islam.

Selain masalah diatas, masih ada masalah lain yang akan muncul pada level yang sangat teknis. Apakah anda yakin akan membawa dinar/dirham dalam bentuk emas/perak kemana-mana? Mungkin akan cukup mudah ketika anda hendak membeli sebuah gadget model terbaru dengan menggunakan dinar/dirham tersebut tapi bagaimana jika anda hendak membeli sebutir permen? Berapa dinar yang harus anda bayar dan bayangkan sekecil apa dinar tersebut? Atau bayangkan saat anda hendak membeli rumah, berapa dinar yang harus anda bayar dan bagaimana cara anda membawa dinar/dirham sebanyak itu?

Jika anda menjawab bahwa dinar/dirhamnya tidak dibawa kemana-mana tapi disimpan pada sebuah lembaga yang mengeluarkan secarik sertifikat sebagai bukti kepemilikan dinar/dirham. Uupps... Anda sudah bicara tentang asal mula terciptanya uang dan bank. Sertifikat itu adalah nenek moyangnya uang dan lembaga tersebut merupakan nenek moyang bank konvensional.  Dan pastinya lembaga tadi butuh pemasukan untuk menjalankan kegiatannya dan anda sebagai pengguna akan ditarik biaya karena menggunakan jasa lembaga tersebut. Meskipun lembaga tersebut dikelola oleh pemerintah saya berani memastikan bahwa anda tetap akan dikenakan biaya. 

Lantas dimana esensi dan urgensi penggunaan dinar/dirham dalam perekonomian? Sejauh ini saya belum menemukan sebuah dalil yang mewajibkan penggunaan dinar/dirham sebagai alat tukar perdagangan dalam sebuah sistem perekonomian berbasis syariah. Untuk sementara saya simpulkan bahwa tidak ada korelasi sama sekali antara penggunaan dinar/dirham dengan penerapan ekonomi syariah. Untuk itu masalah yang paling mendasar untuk diangkat dalam ekonomi syariah bukanlah tentang alat tukar yang digunakan akan tetapi sistemnya. Sistem yang saya maksud disini adalah sistem riba yang diterapkan dalam perekonomian secara global. Hal inilah yang harus diubah dan diganti. Tapi bicara memang sangat gampang sedangkan untuk melaksanakannya luar biasa sulit untuk saat ini (saya mencoba menghindari kata "mustahil").

Permasalahan sebenarnya dalam sistem perekonomian saat ini bukanlah pada alat tukar yang digunakan tapi lebih pada sistem ribawi yang dijalankan. Sistem ribawi ini lah yang yang menyebabkan inflasi menjadi sebuah kepastian. Sistem ribawi ini lah yang menjadikan krisis ekonomi merupakan sebuah siklus yang pasti akan terjadi dan selalu terulang.

Sebagai gambaran, mari kita lihat satu lagi ilustrasi sederhana sebagai berikut;

Anggaplah terdapat 4 orang yaitu A, B, C, dan D. Mereka membentuk sebuah negara (sebut saja negara X). 
A adalah tukang kayu
B adalah petani
C adalah peternak ayam
D adalah penjahit

Pada mulanya mereka melakukan perdagangan dengan sistem barter. Lama kelamaan muncul kesulitan ketika, contoh, tidak setiap hari A, B, dan C membutuhkan pakaian hasil produksi D. Selanjutnya juga terjadi kesulitan saat menentukan berapa banyak beras hasil produksi B harus ditukar dengan ayam hasil produksi C ketika jumlah produksi mereka dalam setahun berfluktuasi. Masalah lainnya muncul ketika pada suatu waktu B dan C tidak membutuhkan barang hasil produksi A. Dilain pihak A setiap hari akan membutuhkan barang yang diproduksi oleh B dan C.

Tiba-tiba, pada suatu hari muncul E yang datang ke negara X menawarkan sebuah solusi kepada mereka. Ia membawa sekantong emas/dinar. E menyarankan agar mereka menggunakan emas tersebut sebagai alat tukar untuk mempermudah transaksi. Mereka pun sepakat. sebagai modal awal, E membagikan/meminjamkan pada masing-masing mereka 100 dinar dan sebagai imbalan mereka akan mengembalikan emas sebanyak 110 dinar kepada E. Ada bunga sebanyak 10% disana. Sebuah sistem perekonomian ribawi baru saja terbentuk.  

Setelah satu tahun, maka tibalah saatnya bagi A, B, C, dan D untuk membayar hutang mereka kepada E. Dalam jangka waktu satu tahun A dan B masing-masing mendapatkan keuntungan sebanyak 20 dinar sehingga mereka masing-masing memiliki uang sebanyak 120 dinar. Setelah membayar hutang berikut bunga sebanyak 110 dinar mereka masing-masing masih mengantongi 10 dinar dari keuntungan perdagangan yang mereka dapatkan. Dilain pihak C dan D tidak memiliki cukup dinar untuk melunasi hutangnya karena masing-masing mengalami kerugian sebanyak 20 dinar yang berarti uang mereka masing-masing hanya tersisa 80 dinar padahal hutang berikut bunga yang harus mereka bayar masing-masing adalah 110 dinar.

Lantas dari mana mereka harus mendapatkan uang untuk membayar total kekurangan sebesar 60 dinar? Meskipun C dan D meminjam kepada A dan B, total uang yang ada ditangan A dan B hanya 20 dinar sedangkan total hutang C dan D berikut bunga adalah 60 dinar! Kemana mereka harus mencari sisa kekurangan sebanyak 40 dinar sementara uang 40 dinar tersebut memang tak pernah ada.

Itu berarti hutang sebuah komunitas dalam perekonomian ribawi tak akan bisa dilunasi meskipun seluruh uang yang beredar dikumpulkan. Bunga sebanyak 10% tadi tak akan pernah bisa dilunasi karena uang 10% tersebut tak pernah ada! Uang 10% tersebut tercipta tapi wujudnya tak pernah ada.

Ilustrasi diatas hanyalah contoh paling sederhana dari biadabnya sistem riba. Dari contoh yang sederhana itu, coba anda bayangkan saat diterapkan pada sebuah negara. Masyarakat akan terjebak dalam sebuah sistem dimana mereka memang dibuat untuk tidak bisa melunasi hutangnya. Hanya akan ada sebagian kecil kelompok masyarakat yang bisa lepas dari hutang tetapi dilain pihak akan lebih banyak yang menjadi korban yang terjebak dalam hutang tak berujung. Pemerataan kesejahteraan hanyalah omong kosong dalam sistem ini.

Sebagai penutup dari uraian diatas dapat kita lihat bahwa dalam penerapan sebuah sistem perekonomian syariah yang terpenting bukanlah jenis alat tukar yang digunakan akan tetapi jenis sistem yang digunakan. Dari contoh negara X diatas bukankah mereka menggunakan dinar/emas sebagai alat tukar. Tapi hasilnya akhirnya sama saja dengan sistem perekonomian yang tidak menggunakan dinar sebagai alat tukar. Inti permasalahannya adalah sistem riba yang diterapkan! Selanjutnya pembahasan tentang sistem riba ini Insya Allah akan saya lanjutkan pada tulisan lain karena akan terlalu panjang dan melenceng dari judul diatas yang hanya membahas mengenai urgensi penggunaan dinar/dirham sebagai alat tukar.


NB: Diluar semua paparan diatas, saya masih takjub dengan pengaruh sihir yang dimiliki oleh emas/perak terhadap manusia dan peradaban. Entah bagaimana caranya. sejak zaman dahulu kala sudah terdapat kesepakatan tak tertulis antara anak cucu Adam di kolong langit bahwa emas/perak adalah benda berharga, bahkan negara-negara kaya pun masih tetap menumpuk cadangan emas/perak. Mungkin alasannya sangat sederhana, Sunatullah!

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita2, anak2, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang2 ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik. 
[Q.S. Ali 'Imran: 14]