Total Tayangan Halaman

Selasa, 07 Mei 2013

Papa Tak Pernah....

Waktu SD ketika sudah mulai mempelajari perkalian, ada kewajiban yang diberikan guru pada muridnya. Menghapal perkalian. Untuk standar anak SD dimulai dari 1x1 sampai dengan 10x10. Saya termasuk murid yang selalu dihukum dikelas karena tidak pernah hapal dengan perkalian. Apakah karena aku malas atau bodoh? Malas mungkin iya, tapi kalau bodoh, sepertinya tidak.

Mau tahu siapa orang yang harus disalahkan yang jadi penyebab saya tidak hapal perkalian? Percaya atau tidak, orang itu Papaku!!
Kok bisa??
Begini ceritanya....

Saat mendapat tugas untuk menghapal perkalian dari bu guru, dengan penuh semangat saya menghapalkan perkalian tersebut di rumah. Dengan suara keras!!
SATU KALI SATU --- SATU
SATU KALI DUA   --- DUA
SATU KALI TIGA  --- TIGA
dst... dst... sampai SEPULUH KALI SEPULUH --- SERATUS

Apa yang kulakukan diperhatikan oleh papaku, kemudian dengan santai beliau bertanya menggunakan bahasa minang totok "sdg manga ang?" (lagi ngapain kamu?)
Kujawab, "menghapal perkalian Pa"
"pakak ang mah, masak itu dihapal" (bodoh kamu, masak itu dihapal)
Saya terdiam, bingung... Ini bagaimana?? Bu guru menyuruh menghapal tapi kalo menghapal dibilang bodoh sama Papa.
Dengan sisa harapan saya mencoba melawan "tapi bu guru bilang supaya dihapal"
Kemudian Papa memanggilku dan berkata "yang seperti itu jangan dihapal tapi dipahami"
Setelah itu beliau dengan sabar menjelaskan esensi perkalian kepadaku bahwa 1x1 artinya satunya ada satu buah, kalau 3x4 artinya disana ada "3 buah angka 4" atau sama dengan 4+4+4. Kemudian penjelasannya dipermudah dengan menggunakan ilustrasi 3 buah keranjang yang masing-masing berisi 4 buah jeruk. Hingga aku paham (bukan hapal) kalau 3x4 = 12.
Substansi mendasar tentang perkalian itulah yang ditanamkan Papa kedalam kepalaku.

Setelah itu interaksi antara saya dan papa dilanjutkan dengan uji coba dan tes lanjutan. Alhamdulillah, semua pertanyaan beliau berhasil saya jawab (kalau masih tidak bisa menjawab setelah mulut si papa berbusa menjelaskan, alamat sengsara badan ini).
Celakanya, setelah merasa mengerti dengan perkalian, saya benar-benar tidak mau lagi menghapalkan hal bodoh itu. Berhubung mata sudah mengantuk, setelah itu saya langsung tidur, padahal besok akan dipanggil bu guru ke depan satu persatu untuk mendeklamasikan perkalian yang sudah dihapal dirumah.

Alhasil, keesokan harinya, saat giliran saya dipanggil kedepan, seluruh rasa percaya diri karena sudah mengerti perkalian buyar bagai debu ditiup angin. Beban mental ketika berada didepan kelas sangat berat. Perkalian saya berhenti sampai 7x4 (saya masih ingat). Ketika terjadi pertarungan antara demam panggung melawan logika.... Logika terkapar tak berdaya. Demam panggung menyerang dengan ganas saat logika masih terbata-bata memikirkan 7x4. Apakah "4 keranjang dengan isi masing-masing 7 buah jeruk" ataukah "7 keranjang, masing-masing dengan isi 4 buah jeruk"? Yang 4 itu jeruknya atau keranjangnya?

Akhirnya logika menyerah, menyisakan butir-butir keringat sebesar jagung dan seringai kejam bu guru. Hukumannya, berdiri didepan kelas ditambah bonus 4 pukulan penggaris kayu.

Sepulang sekolah setelah sampai dirumah saya langsung protes sama papa, kalau jurus jeruk dan keranjangnya tidak mempan di sekolah.
Papa bertanya "apa yang membuat kamu bingung?"
Kujawab "bingung, apakah 4 jeruk dalam 7 keranjang atau 7 jeruk dalam 4 keranjang"
Jawaban papa awalnya membuat saya bingung, beliau menjawab sama saja antara "4 keranjang dengan isi masing-masing 7 buah jeruk" ataupun "7 keranjang, masing-masing dengan isi 4 buah jeruk" kemudian beliau menjelaskan logikanya. Jreeng... aku paham!!

Beberapa hari kemudian, setelah aku dicap sebagai anak bodoh dalam hal perkalian oleh teman-teman, tiba-tiba bu guru mengajukan pertanyaan "berapa 12x3?"
Teman-temanku terdiam dan bahkan yang "pintar" dalam perkalian tidak bisa menjawab, mereka protes pada bu guru dan berkata kalau 12x3 belum diajarkan sehingga belum mereka hapal.
Mendadak dikepalaku terbayang 3 keranjang yg masing-masing berisi 12 buah jeruk (bagiku ini lebih gampang dibayangkan daripada 12 keranjang yg masing-masing berisi 3 buah jeruk), berati sama dengan 12+12+12 = 36.
Saking bahagianya, saya menjawab dengan lantang TIGAPULUH ENAM BU!!!
"Yaaa... Prathama benar" kata bu guru. SATU KELAS SHOCK!! Semua terdiam ketika yang bisa menjawab perkalian yang belum pernah diajarkan adalah si anak bodoh dalam perkalian.
Itu adalah salah satu momen coming from behind terbaik yang pernah terjadi dalam hidup saya. Oleh karena itulah saya masih bisa mengingat detailnya.
Sesampainya dirumah, saya menceritakan kejadian itu dengan berapi-api didepan papa. Papa tersenyum sambil berkata "itu baru anak papa".
Akan tetapi setelah kejadian itu tetap saja ketika disuruh mendeklamasikan perkalian lanjutan didepan kelas aku selalu KO. Rumus jeruk tadi makan waktu cukup lama sedangkan bu guru tidak cukup sabar. Akan tetapi yang terpenting adalah kenyataan bahwa aku memahami esensi perkalian tersebut. Jadi untuk apa dihapal kalau bisa dinalar? Dan papa tak pernah menyuruhku menghapal perkalian.....

Inti dari cerita saya diatas bukanlah tentang potongan kecil sejarah hidup saya, tetapi makna yang baru saya sadari setelah bertahun-tahun kemudian, bahwa pemahaman terhadap sesuatu merupakan hal yang sangat penting. Pemahaman yang menggunakan logika, bukan sekedar menghapal tanpa nalar. Dan hal itulah yang banyak saya temukan kedepannya, orang-orang dengan nilai akademis yang tinggi tetapi tanpa nalar, tanpa logika. Mereka seperti robot yang sudah terprogram, hanya mengulang-ulang program yang ada. Sayangnya, hal ini diperparah oleh mayoritas para pendidik yang tak mampu merangsang logika dan nalar dari para siswa.
Kemudian terbayang dibenak saya, andaikan ada ribuan guru SD seperti Papa.
Papa yang tak pernah menyuruhku menghapal perkalian....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar