Total Tayangan Halaman

Jumat, 14 Juni 2013

Mereka Masih Bersyukur

Beberapa waktu yang lalu saat mengikuti sebuah diklat yang diselenggarakan di sebuah hotel ada kejadian yang menyadarkan saya akan arti syukur. Bukan hanya arti dari segi bahasa tapi (InsyaAllah) makna. Sebuah kejadian sederhana pada saat ishoma. Setelah waktu istirahat tiba, saya bergegas menuju mushala hotel untuk melaksanakan shalat zuhur. Disana saya melihat tiga orang tunadaksa dengan khusyuk melaksanakan shalat berjamaah dengan segala keterbatasan yang dimilikinya. Mereka adalah peserta pelatihan bagi orang berkebutuhan khusus yang kebetulan diselenggarakan di hotel yang sama.

Lantas apa yang istimewa dari hal itu? Saya sulit untuk mendeskripsikan momen tersebut, tapi jika anda berada disana, saya kira anda juga akan terhanyut dengan apa yang terpampang di depan mata. Saya berasumsi dan berprasangka baik bahwa mereka adalah orang-orang yang bersyukur. Mereka melaksanakan dengan ikhlas hal yang dibebankan sebagai kewajiban bagi setiap muslim meski harus bersusah payah dalam melakukannya disaat banyak sekali orang yang mengaku muslim dengan kondisi tubuh sempurna melalaikan bahkan sama sekali meninggalkannya. Dan saya yakin jika ibadah merupakan salah satu wujud syukur kita kepada Yang Maha Kuasa. Dalam Islam setiap orang diwajibkan untuk bersyukur, tidak peduli seperti apa kondisi kehidupan yang dijalani selama apa yang dijalani bukanlah maksiat. Buktinya dalam Surat Ar-Rahman Allah SWT mengulang-ulang kalimat "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" sebanyak 31 kali. Ayat itu berlaku umum bagi setiap muslim, tak ada disyaratkan bahwa ayat itu hanya berlaku pada kondisi tertentu. Sesulit apapun kondisi kehidupan seorang muslim, ketika ia membaca Surat Ar-Rahman, pengertian dan perintah seperti itulah yang mereka terima, perintah untuk bersyukur atas segala nikmat yang telah diterima, apapun kondisinya!

Apa yang saya lihat diatas benar-benar menyentuh bagi diri saya pribadi. Teringat akan shalat yang walau rutin saya kerjakan namun terkadang ada rasa terpaksa dalam melaksanakannya. Kurangnya nikmat dalam beribadah yang saya rasa dikarenakan kurangnya rasa syukur. Tiga orang yang saya lihat itu mungkin dari segi fisik mereka kurang dibanding kita, tetapi dari sisi iman, ketiga orang itu InsyaAllah lebih baik. Rasa syukur mereka InsyaAllah telah teruji, mereka tetap bersyukur dengan kekurangan yang "dianugerahkan" kepada mereka yang dibuktikan dengan ketaatan dalam beribadah.

Kemudian saya teringat pada dua orang sahabat Rasulullah SAW yang juga memiliki keterbatasan fisik. Yang pertama adalah Abdullah bin Ummi Maktum RA, beliau adalah seorang tunanetra. Hanya seorang tunanetra akan tetapi Rasulullah SAW memanggilnya dengan sebuah panggilan yang menurut saya teramat indah "Hai orang yang aku ditegur karenanya". Benar, ia adalah sahabat yang menyebabkan Rasulullah SAW mendapat teguran keras dari Allah SWT melalui Surat 'Abasa 1-16. Ceritanya, pada suatu ketika Rasulullah SAW menerima dan berbicara dengan pemuka-pemuka Quraisy yang beliau harapkan untuk masuk Islam. Dalam pada itu datanglah Abdullah bin Ummi Maktum yang berharap agar Rasulullah SAW membacakan kepadanya ayat-ayat Al Quran yang telah diturunkan Allah. Tetapi Rasulullah SAW bermuka masam dan memalingkan muka dari Abdullah bin Ummi Maktum karena merasa pembicaraannya dengan para pemuka Quraisy jadi terganggu, lalu Allah menurunkan surat ini sebagai teguran atas sikap Rasulullah. Dan yang lebih dahsyat lagi mengenai Abdullah Bin Ummi Maktum RA ini adalah fakta bahwa beliau terlibat dan gugur sebagai syuhada dalam Pertempuran Qadisiyyah yang terkenal itu.

Yang kedua adalah Amr Bin Jamuh RA. Beliau memiliki keterbatasan fisik berupa kaki yang pincang. Saat Perang Badar beliau diberi kemudahan untuk tidak ikut berperang karena keterbatasan fisik dan usia tua. Akan tetapi saat Perang Uhud berkecamuk, beliau turut serta setelah diizinkan oleh Rasulullah SAW. Beliau adalah salah satu syuhada yang gugur di medan uhud.

Kedua orang sahabat tersebut boleh jadi memiliki keterbatasan tapi keutamaan mereka tidak perlu dipertanyakan lagi. Posisi sebagai sahabat nabi saja sudah menempatkan mereka ditempat yang tinggi.

Janganlah kalian mencela para Sahabatku! Seandainya salah seorang diantara kalian berinfak emas sebesar gunung Uhud, niscaya hal itu tidak akan bisa menandingi kualitas infak mereka yang hanya satu mud/genggaman dua telapak tangan, bahkan setengahnya pun tidak.” (HR. Bukhari no. 3673 dan Muslim no. 2541)

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat) kemudian generasi sesudahnya (para tabi’in) kemudian generasi sesudahnya (para pengikut tabi’in)”. (Muttafaqun ‘alaihi)

 Dengan matanya yang buta Abdullah bin Ummi Maktum RA dapat melihat jalan ke surga lebih jelas dari kita yang tidak buta. Amr Bin Jamuh RA InsyaAllah berlari lebih cepat menggapai surga dibanding kita yang diberi fisik sempurna. Untuk cerita lebih lengkap tentang dua manusia luar biasa ini silakan anda cari dari berbagai sumber karena seperti biasa, saya malas berpanjang lebar bercerita.

Selanjutnya saya ingin memberi contoh yang berkebalikan dari hal diatas. Saya pernah mengenal seseorang (sebut saja bunga, terserah bunga apa meski agak aneh kalau ada pria bernama melati) yang berkeluh kesah dan menganggap Allah SWT tidak adil padanya. Dia protes dengan himpitan ekonomi yang dibebankan kepadanya. Dalam hati saya hanya bisa nyengir karena saya tahu pada saat diberi kelapangan, rezeki yang didapatkannya cuma dihabiskan untuk maksiat. Seharusnya ia bersyukur, dengan diberi cobaan berupa kekurangan rezeki berarti dia tidak bisa menambah pundi-pundi dosanya. Tuhan sayang padanya sehingga Tuhan menyelamatkannya dari dosa dengan cara yang unik. Untuk itu harusnya ia melakukan intropeksi diri dan  bersyukur.

Jadi, sekarang bagaimana kita? Sudahkah ada syukur itu? Bisakah contoh yang terpampang diatas kita jadikan cermin. Disaat syukur sudah menjadi barang yang teramat mahal dan tersembunyi, tertutupi oleh keluh kesah dan keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang mungkin sebenarnya tidak dibutuhkan. Syukur yang lenyap dihembus keinginan-keinginan tak berujung yang sia-sia meski sering kali keinginan itu bukan kebutuhan, bahkan bukan merupakan kebutuhan pokok. Padahal sebenarnya kita sudah sering ditegur agar bersyukur. Teguran yang terkadang datang melalui hal-hal sepele seperti sariawan yang membuat hilangnya kenikmatan saat makan walau terhidang menu yang menggiurkan di depan mata. Atau teguran yang bersifat lebih serius seperti pengalaman saya diatas. Kita harus lebih sering bersyukur dengan segala nikmat yang seringkali tidak kita sadari yang kita dapatkan tanpa harus berdoa dan terkadang tanpa harus berusaha. Tapi begitulah sifat manusia umumnya, kurang menghargai apa yang dimiliki sementara dilain pihak banyak yang menginginkan hal itu tapi tidak bisa mendapatkannya.

Don't think of the things you didn't get after praying. Think of the countless blessings God gave you without asking. "Then which of the favours of Your Lord will you deny?"


NB: Saya menulis ini dengan rasa ngeri-ngeri sedap. Banyak menyenggol masalah agama yang saya sama sekali awam terhadapnya. Seandainya ada pendapat saya yang bertentangan dengan Al-Quran dan Hadist, maka lemparkan pendapat saya kedinding dan anggap saja akal saya tidak berada ditempatnya saat itu!
Selalu tempatkan Dalil Naqli diatas Dalil Aqli, itu PRINSIP sebagai muslim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar