Tulisan ini mungkin sedikit terlambat. Baru lahir setelah ribut-ribut tentang seorang perempuan yang hanya lulusan SMP, bertato, dan suka merokok diangkat menjadi menteri sudah tidak begitu hangat lagi. Perempuan itu bernama Susi Pudjiastuti dan jabatan yang diembannya adalah Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.
Pengangkatan Susi menjadi menteri menimbulkan polemik ditengah masyarakat. Ada pro dan kontra. Tapi bukan itu yang hendak saya kupas disini. Dan sebelum masuk ke pokok bahasan, saya akan menjelaskan dimana posisi saya terkait dengan pro dan kontra seputar pengangkatan Susi menjadi menteri. Hal ini perlu saya tekankan diawal tulisan agar nanti seandainya muncul tanggapan pada kolom komentar, pembahasan tidak keluar dari topik inti yang hendak saya angkat. Soalnya saya seringkali menemukan komentar-komentar yang tidak berkaitan dengan pokok tulisan/berita karena komentator tidak membaca keseluruhan tulisan kemudian seenak perutnya menyimpulkan. Akhirnya yang muncul adalah komentar bodoh yang tidak berguna dan tidak layak untuk dibaca apalagi untuk ditanggapi.
Saya pribadi tidak mempermasalahkan tingkat pendidikan Bu Menteri. Saya yakin, Jokowi tidak segegabah itu dalam menunjuk menteri untuk duduk dalam kabinet yang dipimpinnya. Jokowi pasti sudah mempertimbangkan segala sesuatunya dengan cermat, entah itu pertimbangan yang bersifat teknis maupun politis. Saya juga yakin dengan kemampuan manajerial Bu Menteri, tidak mungkin orang dengan kemampuan manajerial biasa-biasa saja mampu membangun sebuah kerajaan bisnis sebesar PT ASI Pudjiastuti Marine Product dan PT ASI Pudjiastuti Aviation. Sementara untuk tato dan rokok, saya secara pribadi tidak begitu mempermasalahkan hal ini meski saya akui kalau itu bukanlah hal yang layak dicontoh (saya sendiri seorang perokok yang terus berjuang untuk berhenti).
Sekarang, mari kita masuk pada topik yang hendak saya angkat, yaitu cara berdiskusi, berpikir, dan mengkritisi dengan sehat dengan menggunakan contoh kasus pengangkatan Susi Pudjiastuti sebagai menteri.
UNTUK PIHAK YANG KONTRA MEMBABI BUTA
Pihak yang kontra dengan pengangkatan Susi sebagai menteri seringkali cuma mengulang-ulang tiga hal yang sudah saya sebutkan di atas (lulusan SMP, bertato, dan suka merokok) sebagai alasan tidak menyukai pengangkatan Menteri Susi. Dengan berburuk sangka pada golongan orang-orang ini, saya berasumsi bahwa sebenarnya bukan Bu Susi yang tidak mereka sukai. Yang tidak mereka sukai adalah Jokowi, orang yang dianggap bertanggung jawab atas pengangkatan Susi sebagai menteri. Hal ini hampir bisa dipastikan merupakan kisah lanjutan dari drama melelahkan saat Pemilihan Presiden 2014.
Hal paling menyedihkan dari orang-orang ini adalah kenyataan bahwa mereka mengkritisi tanpa memberi solusi. Okelah, anggap saja Susi tidak layak menjadi menteri, lantas siapa menurut kalian yang pantas? Memang benar, kemungkinan besar usulan kalian tidak akan terdengar oleh telinga Jokowi, tetapi setidaknya kalian mampu memberi alasan-alasan logis atas ketidaksetujuan kalian terhadap pengangkatan Susi sebagai menteri dan kalian mampu memberi solusi dengan mengusulkan orang yang lebih pantas (setidaknya menurut kalian) yang juga disertai alasan-alasan yang masuk akal. Jika tidak, saya akan langsung berasumsi bahwa kalian tidak lebih dari pengacau yang tidak bisa diajak berpikir dan berdiskusi. Dan Susi hanya kalian jadikan sebagai alat untuk mengolok-olok Jokowi, Presiden kalian sendiri.
Pada pihak yang kontra ini muncul sebuah kesesatan logika dalam berpikir. Terdapat berbagai macam tipe kesesatan dalam penalaran namun secara sederhana kesesatan dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu kesesatan formal dan kesesatan material. Dalam kasus diatas, pada pihak yang kontra terhadap pengangkatan Susi sebagai menteri, yang terjadi adalah kesesatan material.
Kesesatan material adalah kesesatan yang terutama menyangkut isi (materi) penalaran. Kesesatan ini dapat terjadi antara lain karena tidak adanya hubungan logis atau relevansi antara premis dan kesimpulannya (kesesatan relevansi). Kesesatan Relevansi terjadi karena argumentasi yang diberikan tidak tertuju kepada persoalan yang sesungguhnya tetapi terarah kepada kondisi pribadi dan karakteristik personal seseorang (lawan bicara) yang sebenarnya tidak relevan untuk kebenaran atau kekeliruan isi argumennya.
Sederhananya, yang ingin saya katakan disini adalah
"Apa hubungan antara rokok dan tato dengan kemampuan seseorang menjadi menteri?"
Lantas bagaimana dengan tingkat pendidikan? Benar, tingkat pendidikan seringkali menentukan kemampuan seseorang. Tapi perlu diingat, bukankah Susi sudah membuktikan kemampuannya di bidang yang akan menjadi tanggung jawabnya selama 5 tahun kedepan.
UNTUK PIHAK YANG PRO MEMBABI BUTA
Yang paling menyedihkan dalam drama ini adalah tanggapan bodoh dari pihak yang pro. Ketika hujatan bodoh ditanggapi dengan balasan yang tidak kalah bodoh, hasilnya adalah kebodohan yang berlipat ganda! Sebenarnya, tanggapan paling baik terhadap hujatan bodoh yang ditujukan kepada Susi adalah dengan diam. Tak perlu ikut terseret dalam pusaran kebodohan yang tak tentu arah. Tapi kalau tidak tahan dan ingin menanggapi, tanggapilah dengan elegan dan rasional. Tak perlu menghina dan merendahkan diri sendiri serta terjebak dalam debat kusir bodoh yang tak berujung.
Salah satu tanggapan bodoh yang paling sering saya dengar/baca adalah
"Mendingan lulusan SMP, bertato, dan merokok daripada sarjana, berjilbab, dan korupsi"
(dalam kasus ini, Susi dibandingkan dengan.... Ahhh sudahlah, pokoknya Si Itu)
Kenapa kalian membandingkan dengan yang buruk? Analoginya adalah seandainya saya melakukan pelecehan terhadap seorang wanita dengan meraba dadanya kemudian saya ditangkap polisi, saat diinterogasi saya berkilah
Kenapa kalian membandingkan dengan yang buruk? Analoginya adalah seandainya saya melakukan pelecehan terhadap seorang wanita dengan meraba dadanya kemudian saya ditangkap polisi, saat diinterogasi saya berkilah
"Mendingan saya Pak, cuma ngeraba dada doang, Si Anu kemaren memperkosa"
Percayalah, hidup anda tidak akan pernah mengalami kemajuan ketika yang anda jadikan standar (benchmark) adalah sesuatu yang lebih buruk.
Menurut saya, bukan begitu cara menanggapinya. Tapi perlihatkan pada mereka prestasi dan kerja nyata yang sudah dilakukan Susi. Sampaikan pada mereka alasan kenapa Susi merupakan orang yang paling tepat untuk saat ini. Seandainya mereka tidak bisa diajak berdiskusi dengan santun, sudahi dan biarkan mereka sibuk dengan kebodohannya sendiri. Tidak ada manfaat berdebat dengan orang bodoh berpikiran sempit, hanya akan menyeret anda pada tingkat kebodohan yang sejajar dengan mereka.
Saya terpaksa kembali berburuk sangka dengan pihak yang pro. Kebalikan dengan pihak yang kontra (ya iyalah kebalikan), sebenarnya yang mereka bela bukanlah Menteri Susi. Saya yakin, sebelum penunjukan Susi sebagai menteri, mayoritas orang-orang ini tidak tahu dan tidak pernah mendengar apapun tentang Susi. Sebenarnya yang mereka bela bukanlah Susi, melainkan Jokowi. Pada akhirnya mereka terjebak pada kesesatan penalaran material yang disebut Argumentum auctoritatis, yaitu sesat pikir dimana nilai penalaran ditentukan oleh keahlian atau kewibawaan orang yang mengemukakannya. Sikap semacam ini mengandaikan bahwa kebenaran bukan sesuatu yang berdiri sendiri (otonom), dan bukan berdasarkan penalaran sebagaimana mestinya, melainkan tergantung dari siapa yang mengatakannya (kewibawaan seseorang).
Sederhananya, yang ingin saya katakan disini adalah fakta bahwa yang menunjuk Susi menjadi menteri adalah Jokowi. Berarti Jokowi adalah orang yang mengemukakan hal ini, dan dimata pendukung fanatiknya yang membabi buta, Jokowi tidak mungkin salah. Jadi, pengangkatan Susi sebagai menteri tidak mungkin salah! Alhasil yang muncul adalah kesesatan penalaran pada manusia yang taklid yang mendukung secara membabi buta dengan jurus andalan "POKOKNYA!"
SIMPULAN
Sekarang coba anda bayangkan seandainya yang memenangkan Pilpres adalah Prabowo, kemudian Prabowo mengangkat Susi menjadi menteri, saya jamin pihak yang pro dan kontra secara membabi buta akan segera bertukar tempat. Dengan melihat kenyataan yang terjadi sekarang, saya anggap kedua belah pihak sekali lagi terjebak dalam kesesatan dalam penalaran. Mungkin masuk dalam kategori lgnoratio elenchi. Ignoratio elenchi adalah kesesatan yang terjadi saat seseorang menarik kesimpulan yang tidak relevan dengan premisnya. Loncatan dari premis ke kesimpulan semacam ini umum dilatarbelakangi prasangka, emosi, dan perasaan subyektif.
Yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini sebenarnya sangat sederhana. Marilah kita berpikir dengan logika. Marilah kita berdebat dengan sehat. Marilah kita mengkritisi dengan kritik yang membangun, kritik yang disertai solusi, bukan sekedar kritik yang bertujuan menjelek-jelekkan orang/kelompok lain. Sejujurnya, saya merasakan Pilpres 2014 dan berbagai rentetan kejadian yang menyertainya sebagai salah satu peristiwa yang sangat menjengkelkan. Kedua kubu mulai dari level atas hingga level simpatisan seperti sulit untuk disatukan. Tidak bisakah kita mengakhiri perseteruan yang menghabiskan energi dengan cara paling sia-sia ini? Bukankah lebih baik jika energi itu kita satukan untuk membangun jiwa dan badan bangsa yang luka ini?
Untuk pihak yang dikritisi hendaklah berjiwa besar menerima kritikan seandainya dalam kritik tersebut terdapat kebenaran. Percayalah, sifat anti-kritik hanya akan menjerumuskan pada kerusakan. Untuk pihak yang mengkritisi, berikanlah kritik santun yang membangun. Kritik yang tulus dilontarkan demi terwujudnya sebuah perbaikan. Bukan sekedar kritikan yang bertujuan untuk menjatuhkan.
Catatan tambahan;
- Saya tidak mengatakan bahwa seluruh pendukung kedua kubu bertindak seperti yang saya sampaikan di atas. Akan tetapi, saya banyak menemui hal seperti di atas.
- Tidak ada salahnya anda mengambil sikap oposisi selama anda beroposisi dengan sehat. Tapi perlu anda ingat, siapapun anda, apapun pilihan anda saat pilpres kemarin, Jokowi adalah Presiden Republik Indonesia. Jadi, selama anda memiliki KTP Republik Indonesia, lahir, tinggal, dan menikmati berkah dari tanah dan air Indonesia, Presiden anda adalah Bapak Joko Widodo.
- Tidak tertutup kemungkinan dalam tulisan saya di atas juga terdapat kesesatan berpikir karena tulisan ini bermula dari sebuah kejengkelan terhadap perdebatan bodoh yang saya lihat berseliweran di berbagai media.
- Melihat sepak terjang Menteri Susi setelah menjabat, saya yakin beliau adalah orang yang tepat. Semangat Bu!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar