Setelah beberapa tulisan yang agak sedikit serius sekarang saatnya tulisan yang ringan seringan kapas tapi menggalaukan (hehehehe...). Inspirasi menulis ini muncul setelah dialog iseng sama adek sepupu di twitter beberapa hari yang lalu. Intinya adalah pertarungan abadi antara logika dan perasaan dalam masalah cinta. Pergulatan tanpa akhir antara otak dan hati dalam menentukan pilihan. Mana yang harus didahulukan ketika cinta harus memilih (halaah... apaan coba!!), pilihan hatikah atau pilihan otak/pikiran? Dan agar tulisan ini semakin ringan dan ga bermutu maka instrumen yang digunakan dalam memilih cukup dibatasi antara logika dan perasaan. Saya tidak berani menyentuh wilayah agama karena nantinya akan menambah beban tulisan ketika yang bergulat adalah petunjuk Tuhan dengan godaan setan. (beraaat eeuuuyyy).
Teringat pada sebuah kata-kata (yang semoga) bijak yang saya juga lupa entah siapa yang mengucapkannya pertama kali.
"Pilihlah cintamu, kemudian cintailah pilihanmu".
Teorinya emang gitu cuk tapi kebanyakan orang salah langkah dengan mencintai terlebih dahulu dan kemudian baru sadar kalo ternyata sudah salah pilih.
Karena memang cinta adalah soal rasa, biasanya orang yang sudah teramat dalam jatuh cintanya akan kehilangan logika. Meski harus menerjang gunung golok dan hutan pedang, walau harus menempuh gurun penuh singa dan berenang di kolam naga akan tetap diusahakan untuk mendapatkan sang pujaan hati. Lantas apa artinya bila cinta hanya mendatangkan sengsara dalam memperjuangkannya sedangkan didepan sana masih ada ribuan ketidakpastian saat cinta itu didapat! Masih belum ada jaminan bahwa setelah badai sengsara akan ada semilir bahagia (aawww.... awww... semakin galawww).
Saya yakin jika sebenarnya sesaat sebelum jatuh cinta sudah ada mekanisme alam bawah sadar yang dijalankan oleh logika dengan menyaring seluruh informasi tentang target operasi. Logika sudah berjalan dengan sebuah monolog didalam pikiran yang antara lain akan menimbang dengan pertanyaan, mungkinkah? bisakah? bagaimanakah? realistiskah? dan lain-lain. Setelah otak merasa ada "harapan" barulah ia menyampaikan kepada hati dan berkata "OK, sekarang kamu boleh mencoba untuk jatuh cinta".
Nahhh... setelah jatuh cinta terjadi, mau tidak mau, hati/perasaan akan memegang kendali. Analoginya mungkin seperti sebuah pertandingan tinju. Pikiran tak lebih dari seorang pelatih yang memiliki peran antara lain untuk memilihkan lawan yang dianggap sepadan dan dapat ditaklukkan oleh petinju didikannya dan memikirkan strategi agar petinjunya dapat memenangkan pertandingan (kenyataannya banyak petinju yang tidak mendengar masukan pelatihnya karena tergoda oleh iming-iming bayaran selangit yang ditawarkan promotor). Sedangkan si petinju adalah perasaan yang akan bertarung langsung di atas ring.
Setelah lawan ditemukan, maka urusan diatas ring sepenuhnya menjadi hak petinju yang terkadang karena terbawa emosi melupakan strategi yang telah ditetapkan oleh sang pelatih. Sementara dipinggir ring sang pelatih sudah berteriak-teriak panik memberi saran, masukan, dan peringatan yang mungkin sudah tidak lagi diindahkan oleh si petinju. Seandainya si petinju kalah dengan kondisi babak belur, gigi patah, berdarah-darah, si pelatih akan berkata "gue bilang jg ape, lu sih kaga mau dengerin omongan gue".
Seperti itulah yang terjadi ketika perasaan sudah menguasai, bagaimanapun logika memperingatkan akan tidak didengar lagi. Perasaan akan selalu mampu mencari alasan untuk memberi toleransi pada rasa sakit yang dirasa terutama dengan kata mutiara andalan "cinta adalah pengorbanan" (jiaaahhh... kl berkorban terus, lantas lu kapan bercintanya???). Ketika terlalu menuruti perasaan dan pada akhirnya setelah pengorbanan panjang ternyata ujung-ujungnya malah menjadi korban barulah logika nongol lagi sambil berkata "gue bilang jg ape, lu sih kaga mau dengerin omongan gue". Persis dengan kata-kata pelatih tinju tadi.
Trus gimana dong solusinya? Orang yang (merasa) bijaksana akan dengan enteng menjawab, harus ada keseimbangan antara hati dan pikiran. Tapi Demi Tuhaaaan!!! sulit sekali menentukan dimana lokasi titik tengah antara hati dan pikiran, mungkin berada dileher, tapi sayangnya leher takkan pernah bisa memberi jawaban! Idealnya pada tahap awal logika harus lebih dikedepankan untuk menimbang, mengingat, dan memutuskan. Setelah seluruh kriteria yang sudah ditetapkan logika terpenuhi barulah perasaan diberi kesempatan mengambil kendali dengan tetap berpedoman pada acuan yang telah ditetapkan oleh logika.
Tapi bagaimana dengan "cinta pada pandangan pertama?". Naahhh... ini nih yang jadi masalah. Untuk yang satu ini bisa dipastikan logika sudah tidak mendapat tempat. Sudah basah duluan sebelum hujan, jadi malas membawa payung. Perasaan sudah menang duluan, logika harap diam! Meski harus diakui bahwa cinta pada pandangan pertama hanyalah merupakan sebuah ketertarikan fisik yang menyengat, itu pasti! Tak ada yang salah dengan hal ini, tak ada salahnya memilih dengan fisik sebagai kriteria (walau kecantikan/ketampanan tidak menjamin kebahagiaan, tapi apa lu yakin kalo istri/suami lu jelek, lu bakal bahagia?? Paling banter lu cuma jadi filsuf amatir yg sibuk ngebahas ttg inner beauty). Saya pribadi akan mengambil sengatan love at first sight ini sebagai pertanda untuk mulai mengumpulkan data tentang "si penyengat". Setelah itu beri tempat pada logika untuk menimbang seluruh informasi yang sudah terkumpul. Jika logika menyetujui, maka lanjutkan. Jika logika tidak setuju, maka pendamlah dan cukupkan mengalir sebatas tatapan mata atau sebait puisi (Ohhh... yess!! klik disini --->contoh barang).
Kesimpulannya, karena cinta soal rasa maka dari itu biarkan perasaan yang memberikan keputusan akhir setelah melalui proses seleksi ketat dan pertimbangan yang matang dari logika. Apa gunanya memaksakan jalan cerita hanya karena logika berkata "iya" sementara perasaan tidak bisa menerima. Memang benar bahwa cinta bisa datang karena sudah terbiasa tapi "bisa" tidak sama dengan "pasti". Oleh karena itu, pada akhirnya biarkan perasaan yang memutuskan karena cinta soal rasa....
NB: Terkait untuk masalah jodoh, memang takdir sudah menentukan tapi tetap dibarengi usaha/ikhtiar yang logis. Akumulasi dari ikhtiar dan doa akan sangat menentukan meski terkadang hanya sebentuk usaha kecil semisal senyum yang terlontar dan doa yang sederhana saat berhenti di lampu merah (sapa tau pas ada malaikat lg nyebrang jalan dan denger tuh doa trus nyampein ke Tuhan). Masih ingat dengan butterfly effect kan? Just flap those wings!!!
Karena memang cinta adalah soal rasa, biasanya orang yang sudah teramat dalam jatuh cintanya akan kehilangan logika. Meski harus menerjang gunung golok dan hutan pedang, walau harus menempuh gurun penuh singa dan berenang di kolam naga akan tetap diusahakan untuk mendapatkan sang pujaan hati. Lantas apa artinya bila cinta hanya mendatangkan sengsara dalam memperjuangkannya sedangkan didepan sana masih ada ribuan ketidakpastian saat cinta itu didapat! Masih belum ada jaminan bahwa setelah badai sengsara akan ada semilir bahagia (aawww.... awww... semakin galawww).
Saya yakin jika sebenarnya sesaat sebelum jatuh cinta sudah ada mekanisme alam bawah sadar yang dijalankan oleh logika dengan menyaring seluruh informasi tentang target operasi. Logika sudah berjalan dengan sebuah monolog didalam pikiran yang antara lain akan menimbang dengan pertanyaan, mungkinkah? bisakah? bagaimanakah? realistiskah? dan lain-lain. Setelah otak merasa ada "harapan" barulah ia menyampaikan kepada hati dan berkata "OK, sekarang kamu boleh mencoba untuk jatuh cinta".
Nahhh... setelah jatuh cinta terjadi, mau tidak mau, hati/perasaan akan memegang kendali. Analoginya mungkin seperti sebuah pertandingan tinju. Pikiran tak lebih dari seorang pelatih yang memiliki peran antara lain untuk memilihkan lawan yang dianggap sepadan dan dapat ditaklukkan oleh petinju didikannya dan memikirkan strategi agar petinjunya dapat memenangkan pertandingan (kenyataannya banyak petinju yang tidak mendengar masukan pelatihnya karena tergoda oleh iming-iming bayaran selangit yang ditawarkan promotor). Sedangkan si petinju adalah perasaan yang akan bertarung langsung di atas ring.
Setelah lawan ditemukan, maka urusan diatas ring sepenuhnya menjadi hak petinju yang terkadang karena terbawa emosi melupakan strategi yang telah ditetapkan oleh sang pelatih. Sementara dipinggir ring sang pelatih sudah berteriak-teriak panik memberi saran, masukan, dan peringatan yang mungkin sudah tidak lagi diindahkan oleh si petinju. Seandainya si petinju kalah dengan kondisi babak belur, gigi patah, berdarah-darah, si pelatih akan berkata "gue bilang jg ape, lu sih kaga mau dengerin omongan gue".
Seperti itulah yang terjadi ketika perasaan sudah menguasai, bagaimanapun logika memperingatkan akan tidak didengar lagi. Perasaan akan selalu mampu mencari alasan untuk memberi toleransi pada rasa sakit yang dirasa terutama dengan kata mutiara andalan "cinta adalah pengorbanan" (jiaaahhh... kl berkorban terus, lantas lu kapan bercintanya???). Ketika terlalu menuruti perasaan dan pada akhirnya setelah pengorbanan panjang ternyata ujung-ujungnya malah menjadi korban barulah logika nongol lagi sambil berkata "gue bilang jg ape, lu sih kaga mau dengerin omongan gue". Persis dengan kata-kata pelatih tinju tadi.
Trus gimana dong solusinya? Orang yang (merasa) bijaksana akan dengan enteng menjawab, harus ada keseimbangan antara hati dan pikiran. Tapi Demi Tuhaaaan!!! sulit sekali menentukan dimana lokasi titik tengah antara hati dan pikiran, mungkin berada dileher, tapi sayangnya leher takkan pernah bisa memberi jawaban! Idealnya pada tahap awal logika harus lebih dikedepankan untuk menimbang, mengingat, dan memutuskan. Setelah seluruh kriteria yang sudah ditetapkan logika terpenuhi barulah perasaan diberi kesempatan mengambil kendali dengan tetap berpedoman pada acuan yang telah ditetapkan oleh logika.
Tapi bagaimana dengan "cinta pada pandangan pertama?". Naahhh... ini nih yang jadi masalah. Untuk yang satu ini bisa dipastikan logika sudah tidak mendapat tempat. Sudah basah duluan sebelum hujan, jadi malas membawa payung. Perasaan sudah menang duluan, logika harap diam! Meski harus diakui bahwa cinta pada pandangan pertama hanyalah merupakan sebuah ketertarikan fisik yang menyengat, itu pasti! Tak ada yang salah dengan hal ini, tak ada salahnya memilih dengan fisik sebagai kriteria (walau kecantikan/ketampanan tidak menjamin kebahagiaan, tapi apa lu yakin kalo istri/suami lu jelek, lu bakal bahagia?? Paling banter lu cuma jadi filsuf amatir yg sibuk ngebahas ttg inner beauty). Saya pribadi akan mengambil sengatan love at first sight ini sebagai pertanda untuk mulai mengumpulkan data tentang "si penyengat". Setelah itu beri tempat pada logika untuk menimbang seluruh informasi yang sudah terkumpul. Jika logika menyetujui, maka lanjutkan. Jika logika tidak setuju, maka pendamlah dan cukupkan mengalir sebatas tatapan mata atau sebait puisi (Ohhh... yess!! klik disini --->contoh barang).
Kesimpulannya, karena cinta soal rasa maka dari itu biarkan perasaan yang memberikan keputusan akhir setelah melalui proses seleksi ketat dan pertimbangan yang matang dari logika. Apa gunanya memaksakan jalan cerita hanya karena logika berkata "iya" sementara perasaan tidak bisa menerima. Memang benar bahwa cinta bisa datang karena sudah terbiasa tapi "bisa" tidak sama dengan "pasti". Oleh karena itu, pada akhirnya biarkan perasaan yang memutuskan karena cinta soal rasa....
NB: Terkait untuk masalah jodoh, memang takdir sudah menentukan tapi tetap dibarengi usaha/ikhtiar yang logis. Akumulasi dari ikhtiar dan doa akan sangat menentukan meski terkadang hanya sebentuk usaha kecil semisal senyum yang terlontar dan doa yang sederhana saat berhenti di lampu merah (sapa tau pas ada malaikat lg nyebrang jalan dan denger tuh doa trus nyampein ke Tuhan). Masih ingat dengan butterfly effect kan? Just flap those wings!!!
Keep on moving bro, your handwritting inspiring me so much, it will give a gretaer impact for those who can read it with open hearted,...so..keep on your good work :-))
BalasHapus**Ketjil**
tulisanya bagus bro,enak dibaca dan tidak monoton.terus buat tulisan yang berkualitas
BalasHapus-ijal zaelani