Total Tayangan Halaman

Minggu, 26 Mei 2013

Sebuah Hak Yang Dikebiri

Dalam sebuah perjalanan dinas ke Surabaya beberapa hari yang lalu selama 3 hari, ada hal menarik yang saya temui. Hal tersebut baru saya sadari setelah terakumulasi menjadi sebuah derita tak bertepi. Hal yang saya maksud adalah semakin dikebirinya hak-hak perokok di negeri ini. Kemudian ingatan saya melayang pada beberapa kejadian, dan akhirnya saya yakin seyakin-yakinnya bahwa memang perokok sudah disingkirkan perlahan secara sistematis dari ruang publik (halaah.. serius amat kalimatnya!!).

Awal derita yang saya rasakan sebagai seorang perokok adalah saat menunggu keberangkatan di Stasiun Tugu, smoking area diletakkan di daerah terpencil yang terkena cahaya langsung dari matahari sore yang menggigit. Benar-benar membuat selera merokok jadi hilang tak berbekas. Penderitaan pun berlanjut hingga diatas kereta. Argo Wilis tidak bisa lagi diajak kompromi. Dulu perokok masih bisa melepas hajat pada ruang kecil diujung gerbong di dekat kamar kecil, tapi sekarang seluruh gerbong benar-benar dibuat steril dari asap rokok. Singkatnya, saya baru bisa merokok dengan tenang setelah masuk kamar hotel di Surabaya setelah disiksa kurang lebih selama 7 jam.

Hari berikutnya adalah hari kunjungan kerja. Tempat pertama yang harus saya (kami) datangi adalah RS dr. Soetomo. Untuk sebuah Rumah Sakit rasanya tak perlu lagi saya jelaskan betapa kejamnya perlakuan mereka terhadap perokok. Kunjungan selanjutnya adalah Kampus Universitas Airlangga. Disini masih disediakan ruangan khusus untuk merokok. Ketika ada kesempatan saya langsung menuju kesana, airmata saya nyaris menetes (lebay) melihat kondisi smoking room disana. Lebih tepat disebut gudang, berada di bagian luar (semacam balkon) dengan kondisi tempat duduk lebih parah daripada bangku metromini.

Dalam perjalanan kembali ke hotel, emosi sesaat saya berontak terhadap perlakuan yang diterima oleh  kami para perokok. Tetapi emosi tersebut langsung KO dihajar akal sehat. Memang benar para perokok memiliki hak untuk merokok, akan tetapi non-perokok juga memiliki hak untuk tidak terkena asap rokok. Mereka punya hak atas kesehatan mereka.

Pernah suatu kali saat saya sedang makan di sebuah tempat yang tidak ada tanda "dilarang merokok"-nya kemudian datang satu keluarga (terdiri dari bapak, ibu, dan satu anak) duduk di meja tepat dibelakang saya. Saat itu saya sedang merokok. Tiba-tiba si ibu dengan wajah sangat menyebalkan membuat gestur yang jauh lebih menjengkelkan dengan mengipas-ngipas asap rokok yang nyasar ke arahnya. Emosi saya tersulut, bukankah saya sudah terlebih dahulu berada disana, bukankah masih banyak meja lain yang kosong, bukankah disana tidak ada tanda larangan merokok. Saya sudah hendak menyemprot ibu itu dengan dengan kalimat-kalimat indah, tapi sekali lagi, akal sehat saya masih bisa mengendalikan emosi (terutama setelah menimbang dan mengingat ukuran tubuh si bapak yang kekar tinggi berotot. hehehe...). 

Tentu saja bukan ukuran tubuh si bapak yang membuat saya menahan diri, tetapi akal sehat yang mengatakan bahwa saya bebas merokok dimana saja selama tidak ada larangan dengan syarat tambahan kalau saya bisa mengendalikan asap rokok untuk tidak merugikan orang lain yang tidak merokok yang berada disekitar saya! Syarat tambahan yang sering saya abaikan terutama bila orang yang berada disekitar saya cukup pengertian (ngeles... hehehehe).

Kembali ke permasalahan hak perokok yang telah dikebiri tadi. Sebenarnya bukan hak perokok yang dikebiri akan tetapi hak yang bukan perokok sekarang sudah agak dihormati. Hal ini terjadi seiring dengan meningkatnya kesadaran massal akan bahaya rokok. Untuk itu, seharusnya perokok lebih memahami hal ini. Dan juga memahami bahwa hak dan kebebasan kita (perokok) jangan sampai melanggar wilayah kebebasan dan hak orang lain. Pelajaran sederhana yang sudah pernah diberikan semenjak bangku sekolah dasar. Dan saya memahami hal ini, khususnya untuk masalah rokok. Jangankan orang lain, saya sendiripun sudah merasa sangat tidak nyaman dengan rokok dan dengan kebiasan saya merokok.


NB: Saat ini saya sedang akan bertekad untuk berhenti merokok, sebuah target yang mudah-mudahan bisa saya raih tahun ini. Sekarang sedang berusaha mencari klinik hypnotheraphy untuk berhenti merokok yang berada di wilayah yogya dan sekitarnya. Dan satu lagi, (ironisnya) saya termasuk pada golongan orang yang yakin bahwa rokok itu HARAM!!! 

Sabtu, 18 Mei 2013

Piye Kabare Le?

Belakangan hari saat saya melintasi jalan-jalan Yogya sering terlihat gambar Pak Harto. Gambar tersebut terlukis dibagian belakang truk pengangkut barang, tertempel dikaca mobil pribadi, melekat pada kaos oblong tukang becak, menghiasi tembok-tembok kota dalam bentuk mural, dan berbagai media lainnya. Gambar tersebut dihiasi dengan tulisan yang menggelitik "Piye kabare le? Isih penak jamanku tho?" yang artinya kurang lebih "bagaimana kabarmu nak? masih enak zamanku kan?" (maap kalo terjemahannya kurang pas). Mungkin generasi yang lahir pada era 90-an tidak begitu memahami hal ini. Mungkin mereka tahu melalui buku-buku, cerita, ataupun melalui internet mengenai keadaan dizaman Pak Harto. Tetapi mereka tidak akan memahami atau mengerti sepenuhnya karena tidak merasakan masa orde baru.

Gambar beserta tulisan itu merupakan bentuk kerinduan masyarakat kecil akan stabilitas dan kepastian. Beberapa kali saya mendengar obrolan tentang hal itu, bagaimana masyarakat kecil dengan menggebu memberi pujian setinggi langit pada Pak Harto atas stabilitas yang diwujudkannya, baik dibidang politik maupun ekonomi. Pada saat bersamaan seringkali sumpah serapah ditujukan pada pemerintahan sesudahnya. Saya hanya diam mendengarkan dan berusaha untuk tidak terlibat dalam perbincangan. Saya diam bukan karena setuju dengan apa yang mereka katakan tetapi saya diam karena saya mengerti dengan apa yang mereka rasakan. Pujian mereka lebih cenderung tertuju pada stabilitas ekonomi yang diberikan orde baru pada mereka karena mereka cenderung kurang peduli pada masalah politik.

Akan tetapi saya akan memberi reaksi berbeda jika ucapan seperti itu saya dengar terlontar dari mulut orang yang saya rasa cukup berpendidikan. Saya akan membantah karena saya tidak setuju dengan apa yang mereka katakan dan saya tidak mengerti dengan jalan pikiran yang mereka gunakan.

Memang harus diakui, pada saat orde baru terdapat sebuah stabilitas yang panjang. Tapi harga stabilitas itu mungkin terlalu mahal terutama bagi orang-orang yang merasakan langsung tindakan represif rezim orde baru. Tapi disini saya tak akan membahas persoalan politik. Itu bukan bidang saya dan saya tak begitu suka dengan hal tersebut, dan lagi pada batas-batas tertentu saya cenderung setuju dengan cara-cara represif yang dilakukan orde baru untuk menegakkan stabilitas politik dalam negeri.

Saya akan mencoba membahas stabilitas ekonomi yang ada pada zaman orde baru. Untuk bidang ekonomi mungkin saya bisa lah membahas sedikit-sedikit. Tapi pembahasan saya hanya pembahasan sederhana yang tidak akan bergelut dengan data dan angka-angka.

Ucapan yang paling sering saya dengar saat memperbincangkan Pak Harto dengan orde baru-nya adalah "zaman Pak Harto enak, apa-apa murah". Seperti yang sudah saya katakan, saya bisa mengerti ketika hal ini terlontar dari mulut orang awam. Tapi jangan sekali-kali hal ini terucap dari mulut orang yang memiliki pendidikan memadai, apalagi jika pendidikan itu berlatar belakang ilmu ekonomi.

Analogi sederhananya adalah; coba anda bayangkan seandainya ada tetangga anda yang tinggal disebuah rumah mewah, punya mobil bagus, gadget anak-anaknya selalu model terbaru dari kelas high end, setiap hari mereka makan makanan mewah, dan memakai pakaian mahal. Anak-anaknya banyak dan tentu saja kelakuannya juga beraneka ragam. Ada yang patuh dan sayang sama orang tuanya dan ada juga yang bandel. Untuk anak yang bandel, si Bapak tidak segan-segan main tangan dan terkadang kelewatan.

Tiba-tiba pada suatu hari si bapak meninggal dunia. Tanggung jawab rumah tangga jatuh pada anak tertua. Pada saat itulah masalah muncul, ketika datang beberapa orang bertampang sangar datang menagih utang. Ternyata segala kemewahan yang dinikmati oleh keluarga tetangga anda itu dibiayai dengan utang. Anak tertua yang kini bertanggung jawab atas kehidupan keluarga besar itu tentu saja pusing, akhirnya terpaksa menjual aset berupa barang-barang yang ada dirumah dan membuat utang baru yang akan digunakan untuk membayar utang lama. Pada saat bersamaan adik-adiknya yang tidak mengerti permasalahan mulai berkeluh kesah dan membanding-bandingkan serta berkata "lebih enak waktu bapak masih ada ya". 

Mereka tidak tahu dan tidak memahami bahwa apa yang mereka rasakan saat ini tidak lain merupakan akibat dari apa yang dulu dilakukan bapaknya. Mereka tidak mengerti kesulitan si kakak yang mewarisi dan bertanggung jawab terhadap pelunasan utang-utang bapaknya. Dan parahnya lagi, dikemudian hari ditemukan bahwa sebagian besar utang si bapak tidak digunakan untuk kesejahteraan rumah tangganya, entah dipakai untuk apa.

Kurang lebih seperti itulah yang terjadi pada negeri ini. Saya tidak membela rezim setelah orde baru karena pada kenyataannya masalah utang ini diperparah dengan prilaku menumpuk utang yang tidak jauh berbeda dengan rezim orde baru. Padahal kalau saya tidak salah, diakhir zaman orde baru tiap manusia yang ada di Indonesia sudah menanggung utang sebesar enam juta rupiah perkepala dengan nilai uang saat itu dengan jumlah penduduk lebih dari 200juta manusia (*). 

Beda antara rezim orde baru dengan rezim setelahnya hanya pada masalah kebebasan. Saat ini semua lebih bebas, bebas berbuat sekehendak hatinya melalui demo anarkis atau premanisme berkedok agama dan bebas bicara apa saja tanpa menimbang dampak yang ditimbulkan. Suatu hal yang nyaris tak mungkin terjadi dizaman orde baru. Tapi tetap saja, masyarakat awam tidak begitu peduli dengan urusan politik. Bagi sebagian besar mereka, asalkan bisa makan layak, punya rumah layak, bisa menyekolahkan anak, dan semua kebutuhan dasar mereka bisa terpenuhi. Peduli setan siapa yang berkuasa, peduli setan dengan kebebasan bicara!! Benarlah pepatah yang mengatakan bahwa "mulut yang penuh takkan bersuara". Pun seandainya bersuara, paling-paling yang terdengar adalah suara cepak saat mengunyah atau sendawa setelah makan karena kekenyangan.

Akan tetapi anggapan "lebih enak zaman Pak Harto" mungkin masih bisa diterima jika dibatasi pada perbandingan keadaan (terutama bidang ekonomi) tanpa mempermasalahkan sebab akibat. Kondisi "lebih enak" yang terbatas pada kulit luar dan apa yang dirasakan tanpa memikirkan darimana dan bagaimana "keenakan" itu datang. Sebuah kepasrahan yang menafikan intelektualitas dan pemikiran.

Jadi, bagaimana menurut anda? Lebih enak mana?

(*) Kalimat ini butuh data penunjang yang akurat, tetapi saya cukup malas untuk googling perihal masalah yang satu ini.

Butterfly Effect: ("Does the flap of a butterfly’s wings in Brazil set off a tornado in Texas?")

Apakah anda pernah mendengar atau membaca tentang Butterfly Effect? Kali ini saya ingin menulis tentang hal ini, tapi sekali lagi, SAYA TIDAK AKAN MEMBAHAS SISI ILMIAHNYA (mau dibahas juga keknya saya ga bakalan sanggup). Saya hanya mencoba menuliskan pikiran liar saya yang saya coba mengaitkannya dengan butterfly effect. Sebagai pembuka, terutama bagi pembaca yang masih belum mendapat gambaran mengenai butterfly effect, berikut saya sisipkan penjelasan singkat (ngga singkat juga sih) yang saya comot dengan semena-mena dari wikipedia.

Butterfly effect (Efek kupu-kupu) adalah istilah dalam "Teori Chaos" (Chaos Theory) yang berhubungan dengan "ketergantungan yang peka terhadap kondisi awal" (sensitive dependence on initial conditions), di mana perubahan kecil pada satu tempat dalam suatu sistem non-linear dapat mengakibatkan perbedaan besar dalam keadaan kemudian. Istilah yang pertama kali dipakai oleh Edward Norton Lorenz ini merujuk pada sebuah pemikiran bahwa kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil secara teori dapat menghasilkan tornado di Texas beberapa bulan kemudian. Fenomena ini juga dikenal sebagai sistem yang ketergantungannya sangat peka terhadap kondisi awal. Perubahan yang hanya sedikit pada kondisi awal, dapat mengubah secara drastis kelakuan sistem pada jangka panjang. Jika suatu sistem dimulai dengan kondisi awal misalnya 2, maka hasil akhir dari sistem yang sama akan jauh berbeda jika dimulai dengan 2,000001 di mana 0,000001 sangat kecil sekali dan wajar untuk diabaikan. Dengan kata lain: kesalahan yang sangat kecil akan menyebabkan bencana dikemudian hari. (*)

Dari uraian mbah wiki diatas dapat saya simpulkan bahwa butterfly effect adalah akumulasi hal/peristiwa kecil yang bisa jadi memiliki dampak besar dimasa yang akan datang. Hal/peristiwa tersebut cenderung bersifat acak dan sepertinya tak berhubungan sama sekali.

Imajinasi liar saya membayangkan sebuah kejadian rekaan, yang mungkin bisa membawa pembaca sepemahaman dengan kesesatan saya menerjemahkan pengertian butterfly effect ini, misalnya;

Saat sedang berjalan saya melihat sebuah kayu dengan paku berkarat di tengah jalan, karena malas repot, saya tidak menyingkirkan kayu tersebut. Beberapa waktu kemudian ada anak kecil (sebut saja Budi) berlari melewati jalan itu dan menginjak paku berkarat yang tertancap pada kayu. Luka akibat paku itu beberapa hari kemudian menyebabkan infeksi yang parah. Berhubung ayah si Budi sehari-hari hanya bekerja sebagai pemulung (dan ibunya sudah lama meninggal), dia tidak bisa membawa Budi berobat untuk mendapatkan perawatan yang semestinya. Seminggu kemudian si Budi yang malang meninggal dunia. Padahal seandainya dulu saya menyingkirkan kayu keparat itu, hal ini tidak akan terjadi. Budi akan tetap hidup dan ternyata jika ia tetap hidup, dia lah yang akan menjadi pemimpin masa depan negeri ini yang berhasil membawa Indonesia menjadi negara yang makmur dan bermartabat di muka bumi.

Bayangkan, hanya gara-gara saya malas membuang sebuah kayu berpaku bisa berdampak bagi seluruh rakyat Indonesia dimasa depan!! Meskipun tindakan saya hanya merupakan bagian dari sebuah himpunan kejadian yang nantinya akan menyebabkan Budi bisa menjadi seorang pemimpin besar. Kejadian saat Budi menjadi seorang pemimpin besar memiliki ketergantungan yang peka terhadap kondisi awal yang salah satunya adalah tindakan/keputusan saya terhadap kayu berpaku tersebut.

Apakah cerita rekaan ini cukup sampai disana? Tentu tidak! Seperti apa yang saya pahami "butterfly effect adalah akumulasi hal/peristiwa kecil yang bisa jadi memiliki dampak besar dimasa yang akan datang" Seandainya dulu saya menyingkirkan kayu berpaku di tengah jalan itu, budi akan tetap hidup. Beberapa bulan kemudian secara tidak sengaja ayah si Budi (sebut saja Pak Narto) menolong seorang istri pejabat (terserah apa jabatannya) yang akan dirampok oleh remaja berusia 18 tahun (detail kejadiannya silakan anda bayangkan sendiri karena saya malas memberi deskripsi). Sebagai ucapan terimakasih, istri pejabat tadi mengajak Pak Narto ke rumahnya. Sampai di rumahnya, Pak Narto dikenalkan kepada suaminya yang dengan senang hati menerima Pak Narto untuk tinggal dan bekerja sebagai satpam dirumahnya. Kebetulan pejabat tersebut tidak memiliki anak, ketika melihat Budi, pejabat itu suka padanya, mengangkatnya sebagai anak dan menyekolahkannya hingga lulus perguruan tinggi. Dan seperti sudah disebutkan sebelumnya, Budi akhirnya menjadi pemimpin besar republik ini. (hassyyuuu... ceritanya sinetron banget!!)

Pada saat yang bersamaan, kayu berpaku yang saya singkirkan tadi, saya lempar ke sebuah selokan. Saat itu anak kecil lain (sebut saja Badu) sedang menangkap belut diselokan itu, belut yang akan dijadikan sebagai lauk makan malam keluarganya yang miskin. Tidak sengaja si Badu menduduki kayu berpaku (nih anak jauh lebih sial dibanding Budi yang cuma kena di kaki, Badu kena di pantat). Beberapa hari kemudian Badu mendapat demam berat akibat infeksi. Keluarganya tak bisa berbuat apa-apa karena tidak memiliki biaya. Kakaknya yang tidak tega melihat penderitaan Badu mengambil jalan pintas untuk membiayai pengobatan Badu, ia merampok seorang ibu yang sedang berbelanja! Benar dugaan anda, itu adalah istri pejabat yang ditolong Pak Narto.

Singkat cerita, kakak si badu akhirnya masuk penjara dan sakit si Badu tidak bisa disembuhkan. Badu kecil akhirnya meninggal dunia. Seandainya Badu tidak meninggal, dimasa depan Badu akan menjadi seorang diktator paling kejam yang pernah dimiliki Indonesia.

Dari penjelasan diatas yang justru membuat semua semakin tidak jelas, dapat kita lihat berbagai kemungkinan yang terjadi yang berdampak luas dimasa depan. Jika salah satu kejadian awal berubah, maka akan terjadi perubahan ekstrim pada kejadian masa depan. Bayangkan jika kayu berpaku tadi saya buang ke tempat sampah . Budi dan Badu akan sama-sama tetap hidup, dan siapa diantara keduanya yang akan menjadi pemimpin masa depan Indonesia akan ditentukan oleh banyak peristiwa acak lainnya yang terjadi. Bagaimana nasib negeri ini dimasa depan ditentukan oleh himpunan peristiwa-peristiwa kecil yang seakan tidak berarti, tetapi akumulasi dari peristiwa kecil-kecil itu merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk terwujudnya sebuah keadaan yang berdampak besar dimasa depan. 

Cukup sekian untuk imajinasi liar saya yang mulai tanpa arah. Sekarang topiknya saya persempit untuk diri saya sendiri. Kadang saya menyadari ketika mengingat-ingat berbagai peristiwa dimasa lalu. Saya berandai-andai, seandainya dulu saya begitu mungkin hasilnya tidak begini, seadainya saya begini, mungkin hasilnya tidak begitu. Tentu saja berandai-andai seperti ini tidak diperbolehkan, apalagi jika ujung-ujungnya bermuara pada penyesalan. Saya berandai-andai bukan untuk menyesali, tetapi untuk koreksi diri. Sampai detik ini sangat sedikit hal-hal yang dulu saya lakukan yang saya sesali. Alhamdulillah, saya puas dan bersyukur dengan hidup saya saat ini. Seburuk apapun kejadian masa lalu yang saya alami, hal itulah yang membentuk saya menjadi saya hari ini.

Mungkin dimasa lalu banyak kesempatan-kesempatan yang saya sia-siakan karena menyepelekan sebuah peristiwa atau kejadian kecil. Mungkin banyak keburukan-keburukan yang berhasil saya hindari karena tidak peduli pada hal-hal yang sepele tersebut. Ada banyak kemungkinan. Tentu saja kemungkinan-kemungkinan itu bisa dijadikan perdebatan dengan mengabaikan takdir karena semua akan berhenti diperdebatkan ketika sudah menginjak wilayah takdir. Demi Allah, sebagai muslim saya percaya takdir yang dalam menjalaninya selalu harus diiringi dengan ikhtiar, tapi pembahasan saya tidak kesana, saya merasa masih belum cukup kuat membahas masalah agama karena jika salah, saya akan jadi manusia sesat yang menyesatkan. Hehehehehe...

Jadi, apakah semua hal-hal sepele harus kita beri perhatian lebih? Tentu tidak, cukup pada hal-hal baik. Peristiwa sepele namun memiliki tunas kebaikan yang harus kita beri perhatian. Tunas-tunas kebaikan yang suatu saat nanti mudah-mudahan akan menumbuhkan pohon kebaikan yang kuat dan mengakar (jika himpunan kondisi awal yang menjadi syarat terpenuhi). Meski sebuah kebaikan bisa saja berakibat buruk, akan tetapi sebenarnya bukan kebaikan itu yang berdampak buruk, bisa jadi ada keburukan yang sepele mengkontaminasi kebaikan yang dilakukan, persis seperti pengertian butterfly effect tadi. Hal yang buruk terjadi karena ada keterlibatan keburukan dalam himpunan kejadian yang merusak keseimbangan proses dalam sebuah sistem.

Sebagai penutup dari uraian diatas, sudah saatnya kita peduli dan memulai dengan hal-hal kecil yang terkadang sangat sepele. Mungkin tanpa kita sadari kita sudah mengabaikan suatu hal/peristiwa yang kita anggap sepele padahal nantinya ia akan memberi dampak teramat besar pada hidup kita. Kita sudah mematahkan sayap kupu-kupu yang cantik sebelum ia sempat terbang dan berpartisipasi dalam menciptakan sebuah badai yang setelah reda mungkin diakhiri dengan sebuah pelangi yang indah. Kita mengabaikan dan bahkan membunuh ulat kecil yang terlihat menjijikkan sebelum ia sempat menjadi kupu-kupu yang cantik yang akan mengubah kehidupan kita.

NB: Saat mulai menulis ini tadi malam, kebetulan seekor kupu-kupu masuk ke dalam kamar saya, wujudnya cukup indah, dengan warna jingga terang. Tapi saat tulisan ini selesai, kupu-kupu itu sudah mati (hiks..hiks...)
Lagipula saya kurang bisa memastikan apakah itu ngengat (moth) atau kupu-kupu (butterfly), kemungkinan besar ngengat karena nokturnal dan sayapnya yg membentang saat hinggap.

Dengan segala hormat kepada Tuan Edward Norton Lorenz, sorry bos, butterfly effect-nya saya acak-acak dengan brutal.

Selasa, 14 Mei 2013

Siapa Mau Jadi Guru?

Tadi saya mendapatkan pengalaman menarik yang mudah-mudahan cukup menarik untuk dijadikan tulisan disini. Kebetulan saya menjadi anggota Tim Penilaian Kinerja Pelayanan Publik Kota Yogyakarta. Tujuan pembentukan tim ini adalah untuk menilai kinerja pelayanan publik di Kota Yogyakarta seperti bidang pendidikan (dilakukan pada sekolah mulai dari jenjang SD, SMP, SMA/SMK), kesehatan (dilakukan pada Rumah Sakit dan Puskesmas), dan lain-lain instansi yang melakukan pelayanan langsung kepada masyarakat. Setelah dilakukan penilaian akan ditindaklanjuti dengan evaluasi dan perbaikan terhadap area yang dinilai masih belum memuaskan, istilah kerennya sih continuous improvement.

Tapi, sekali lagi bukan hal-hal serius seperti diatas yang akan saya bahas. Hal-hal serius memerlukan usaha lebih dengan sitasi dan referensi yang akuntabel dengan konsep-konsep serta teori yang dapat dipertanggungjawabkan. Kalau itu saya lakukan, maka saya sudah murtad dari tujuan awal saya menulis di blog, yaitu untuk menghilangkan stres. Tulisan serius cuma menjadi stressor bagi batin yang lemah ini (Ohhh... yes...)

Cerita bermula saat saya melakukan penilaian pada salah satu SMA unggulan di Kota Yogyakarta. Proses penilaian berlangsung santai, kebetulan guru (wakasek) yang mendampingi orangnya ramah dan suka guyon. Agar suasana penilaian tidak begitu kaku, kadang-kadang obrolan keluar dari topik untuk sekedar mencairkan suasana.

Kemudian Bapak Wakasek bercerita tentang lulusan SMA ini yang 97% diterima pada beberapa perguruan tinggi ternama di negeri ini. Akan tetapi ada fenomena yang menarik tapi membuat miris disini, yaitu fakta bahwa 0% dari lulusan tersebut yang melanjutkan kuliah di bidang keguruan dan ilmu pendidikan. Bayangkan, tak satupun dari siswa yang cerdas dan pintar itu yang ingin jadi guru!!! Memang hal ini belum bisa dijadikan sampel yang akurat untuk menjustifikasi bahwa keadaan ini merupakan hal yang umum pada sekolah unggulan di Yogyakarta, apalagi Indonesia. Namun secuil gambaran yang diperlihatkan disana membuat saya berpikir bahwa dalam benak siswa-siswa yang cerdas dan pintar itu sudah tertanam jika profesi sebagai guru bukanlah profesi yang dicita-citakan.

Pertanyaan selanjutnya adalah, kenapa mereka tidak bercita-cita menjadi seorang guru? Dugaan paling sederhana yang menjadi penyebabnya adalah prestise menjadi seorang guru yang masih dianggap jauh dibawah profesi lain (kebetulan lulusan SMA ini mayoritas meneruskan kuliah pada Fakultas kedokteran, teknik, psikologi, dan akuntansi). 

Lantas, apa urusannya kalau mereka tidak ingin jadi guru? Panjang saudara-saudara, urusannya jadi sangat panjang! Dunia pendidikan kita akan semakin jauh tertinggal ketika tunas-tunas terbaik sangat sedikit yang memilih menjadi pendidik. Generasi selanjutnya bangsa ini akhirnya tidak dididik oleh yang terbaik.

Padahal melalui pemberian tunjangan sertifikasi bagi guru, pemerintah sudah berusaha meningkatkan antusiasme lulusan SMA untuk menjadi guru (walau mungkin masih belum se-menjanjikan profesi lain yang sudah lebih dulu populer). Tapi, apakah hanya sisi materi yang dijadikan patokan? Apakah manusia sudah sedemikian materialistis hingga penghargaan terhadap profesi yang mulia tersebut menjadi sangat rendah? Padahal disisi lain, dalam Islam, salah satu sumber pahala yang akan terus mengalir ketika seseorang sudah meninggal dunia adalah "Ilmu yang Bermanfaat". Ambil contoh paling sederhana, guru kelas 1 SD yang mengajari muridnya membaca. Bayangkan betapa deras sungai pahala yang mengalir kedalam pundi-pundi amal seorang guru yang mengajari ratusan bahkan ribuan murid mengeja huruf A sampai Z!! Sampai si murid mati, dia pasti akan tetap menggunakan 26 huruf tersebut dalam kehidupan sehari-harinya! Seandainya ada diantara murid tersebut yang juga menjadi guru kelas 1 SD, maka ilmu yang bermanfaat tadi berlanjut, mungkin ini bisa dihitung sebagai multi level marketing-nya pahala, semakin banyak downline-nya semakin melimpah aliran pahala yang masuk.

Dari uraian ngawur diatas, bukankah jelas betapa menariknya "insentif" bagi seorang guru. Tetapi kenapa dalam kenyataan "insentif" tersebut menjadi kurang menarik? Mungkin karena imbalan yang diterima tidak nyata. Insentif "bayangan" yang sering tersamar dalam dunia yang semakin hedonis.

Lantas apa simpulan yang dapat ditarik dari uraian ngawur diatas? Ngga ada!! Namanya juga tulisan ngawur.  Hanya sekedar untuk melepaskan unek-unek kok. Memangnya saya siapa sampai berhak nyuruh-nyuruh anak orang supaya jadi guru!

Dan seandainya ada seseorang yang nyasar ke blog ini dan membaca seluruh kengawuran diatas bertanya kepada saya "Trus kenapa lu ga jadi guru?"
Jawaban saya sederhana, "kalo gurunya sudah kencing berlari, takutnya ntar muridnya kencing sambil terbang"

Salam ngawur!!

Selasa, 07 Mei 2013

Papa Tak Pernah....

Waktu SD ketika sudah mulai mempelajari perkalian, ada kewajiban yang diberikan guru pada muridnya. Menghapal perkalian. Untuk standar anak SD dimulai dari 1x1 sampai dengan 10x10. Saya termasuk murid yang selalu dihukum dikelas karena tidak pernah hapal dengan perkalian. Apakah karena aku malas atau bodoh? Malas mungkin iya, tapi kalau bodoh, sepertinya tidak.

Mau tahu siapa orang yang harus disalahkan yang jadi penyebab saya tidak hapal perkalian? Percaya atau tidak, orang itu Papaku!!
Kok bisa??
Begini ceritanya....

Saat mendapat tugas untuk menghapal perkalian dari bu guru, dengan penuh semangat saya menghapalkan perkalian tersebut di rumah. Dengan suara keras!!
SATU KALI SATU --- SATU
SATU KALI DUA   --- DUA
SATU KALI TIGA  --- TIGA
dst... dst... sampai SEPULUH KALI SEPULUH --- SERATUS

Apa yang kulakukan diperhatikan oleh papaku, kemudian dengan santai beliau bertanya menggunakan bahasa minang totok "sdg manga ang?" (lagi ngapain kamu?)
Kujawab, "menghapal perkalian Pa"
"pakak ang mah, masak itu dihapal" (bodoh kamu, masak itu dihapal)
Saya terdiam, bingung... Ini bagaimana?? Bu guru menyuruh menghapal tapi kalo menghapal dibilang bodoh sama Papa.
Dengan sisa harapan saya mencoba melawan "tapi bu guru bilang supaya dihapal"
Kemudian Papa memanggilku dan berkata "yang seperti itu jangan dihapal tapi dipahami"
Setelah itu beliau dengan sabar menjelaskan esensi perkalian kepadaku bahwa 1x1 artinya satunya ada satu buah, kalau 3x4 artinya disana ada "3 buah angka 4" atau sama dengan 4+4+4. Kemudian penjelasannya dipermudah dengan menggunakan ilustrasi 3 buah keranjang yang masing-masing berisi 4 buah jeruk. Hingga aku paham (bukan hapal) kalau 3x4 = 12.
Substansi mendasar tentang perkalian itulah yang ditanamkan Papa kedalam kepalaku.

Setelah itu interaksi antara saya dan papa dilanjutkan dengan uji coba dan tes lanjutan. Alhamdulillah, semua pertanyaan beliau berhasil saya jawab (kalau masih tidak bisa menjawab setelah mulut si papa berbusa menjelaskan, alamat sengsara badan ini).
Celakanya, setelah merasa mengerti dengan perkalian, saya benar-benar tidak mau lagi menghapalkan hal bodoh itu. Berhubung mata sudah mengantuk, setelah itu saya langsung tidur, padahal besok akan dipanggil bu guru ke depan satu persatu untuk mendeklamasikan perkalian yang sudah dihapal dirumah.

Alhasil, keesokan harinya, saat giliran saya dipanggil kedepan, seluruh rasa percaya diri karena sudah mengerti perkalian buyar bagai debu ditiup angin. Beban mental ketika berada didepan kelas sangat berat. Perkalian saya berhenti sampai 7x4 (saya masih ingat). Ketika terjadi pertarungan antara demam panggung melawan logika.... Logika terkapar tak berdaya. Demam panggung menyerang dengan ganas saat logika masih terbata-bata memikirkan 7x4. Apakah "4 keranjang dengan isi masing-masing 7 buah jeruk" ataukah "7 keranjang, masing-masing dengan isi 4 buah jeruk"? Yang 4 itu jeruknya atau keranjangnya?

Akhirnya logika menyerah, menyisakan butir-butir keringat sebesar jagung dan seringai kejam bu guru. Hukumannya, berdiri didepan kelas ditambah bonus 4 pukulan penggaris kayu.

Sepulang sekolah setelah sampai dirumah saya langsung protes sama papa, kalau jurus jeruk dan keranjangnya tidak mempan di sekolah.
Papa bertanya "apa yang membuat kamu bingung?"
Kujawab "bingung, apakah 4 jeruk dalam 7 keranjang atau 7 jeruk dalam 4 keranjang"
Jawaban papa awalnya membuat saya bingung, beliau menjawab sama saja antara "4 keranjang dengan isi masing-masing 7 buah jeruk" ataupun "7 keranjang, masing-masing dengan isi 4 buah jeruk" kemudian beliau menjelaskan logikanya. Jreeng... aku paham!!

Beberapa hari kemudian, setelah aku dicap sebagai anak bodoh dalam hal perkalian oleh teman-teman, tiba-tiba bu guru mengajukan pertanyaan "berapa 12x3?"
Teman-temanku terdiam dan bahkan yang "pintar" dalam perkalian tidak bisa menjawab, mereka protes pada bu guru dan berkata kalau 12x3 belum diajarkan sehingga belum mereka hapal.
Mendadak dikepalaku terbayang 3 keranjang yg masing-masing berisi 12 buah jeruk (bagiku ini lebih gampang dibayangkan daripada 12 keranjang yg masing-masing berisi 3 buah jeruk), berati sama dengan 12+12+12 = 36.
Saking bahagianya, saya menjawab dengan lantang TIGAPULUH ENAM BU!!!
"Yaaa... Prathama benar" kata bu guru. SATU KELAS SHOCK!! Semua terdiam ketika yang bisa menjawab perkalian yang belum pernah diajarkan adalah si anak bodoh dalam perkalian.
Itu adalah salah satu momen coming from behind terbaik yang pernah terjadi dalam hidup saya. Oleh karena itulah saya masih bisa mengingat detailnya.
Sesampainya dirumah, saya menceritakan kejadian itu dengan berapi-api didepan papa. Papa tersenyum sambil berkata "itu baru anak papa".
Akan tetapi setelah kejadian itu tetap saja ketika disuruh mendeklamasikan perkalian lanjutan didepan kelas aku selalu KO. Rumus jeruk tadi makan waktu cukup lama sedangkan bu guru tidak cukup sabar. Akan tetapi yang terpenting adalah kenyataan bahwa aku memahami esensi perkalian tersebut. Jadi untuk apa dihapal kalau bisa dinalar? Dan papa tak pernah menyuruhku menghapal perkalian.....

Inti dari cerita saya diatas bukanlah tentang potongan kecil sejarah hidup saya, tetapi makna yang baru saya sadari setelah bertahun-tahun kemudian, bahwa pemahaman terhadap sesuatu merupakan hal yang sangat penting. Pemahaman yang menggunakan logika, bukan sekedar menghapal tanpa nalar. Dan hal itulah yang banyak saya temukan kedepannya, orang-orang dengan nilai akademis yang tinggi tetapi tanpa nalar, tanpa logika. Mereka seperti robot yang sudah terprogram, hanya mengulang-ulang program yang ada. Sayangnya, hal ini diperparah oleh mayoritas para pendidik yang tak mampu merangsang logika dan nalar dari para siswa.
Kemudian terbayang dibenak saya, andaikan ada ribuan guru SD seperti Papa.
Papa yang tak pernah menyuruhku menghapal perkalian....


Sabtu, 04 Mei 2013

Akhirnya Setuju Untuk Menetapkan Tujuan

We have perhaps a natural fear of ends. We would rather be always on the way than arrive. 
Given the means, we hang on to them and often forget the ends.
                                                                       ---Eric Hoffer---


Ketika tanpa sengaja saya membaca quotes diatas, kepala saya seperti ditampar. Seakan-akan si Hoffer mengucapkan hal diatas khusus untuk saya. Saya  yang takut untuk sampai. Ketakutan yang bodoh. Ketakutan akibat ketidaksiapan bukan ketidakmampuan (bedanya apa cuk?) karena memang tak pernah memikirkan persiapan dan tak pernah benar-benar bersiap-siap.

Saya akui bahwa saya bukan tipe orang yang mau repot atau ambil pusing untuk masalah yang mungkin sebenarnya penting tapi membutuhkan usaha lebih. Sejak dahulu hidup saya tak pernah memiliki rencana. Semua berjalan apa adanya dan sekali lagi "saya tidak pernah ambil pusing".

Ambil contoh ketika masih SMA, ada beberapa teman yang sudah punya rencana jangka panjang. Mereka sudah memikirkan untuk kuliah dimana, setelah lulus kuliah hendak bekerja dibidang apa, hendak berumah tangga pada usia berapa, dan ingin punya anak berapa (kenapa ga sekalian aja lu rencanain mau mati diumur berapa!!). Sedangkan saya hanya punya rencana jangka super pendek, misalnya caturwulan ini angka merah di rapor cukup untuk pelajaran dibidang IPA dan matematika. Dahsyat!! Kalo menurut Mario Tegang "Zuper Zekali".

Saya selalu berpikir bahwa untuk nanti cukup dipikirkan nanti, pikirkan aja apa yang jelas ada didepan mata. Sebenarnya ini tidak salah seandainya hal ini merupakan penjabaran dari kerangka rencana jangka panjang. Dan itulah yang tidak pernah saya miliki, sebuah rencana jangka panjang. Setamat SMA saya belum tau mau kuliah dimana dan kuliah dibidang apa. Saat kuliah, ketika teman-teman sudah sibuk memikirkan judul skripsi, saya masih berpikir "semester depan aja lah". Setamat kuliah saya seakan-akan kehilangan tujuan karena saya tak pernah bersungguh-sungguh mencari pekerjaan, yang ribut justru orang-orang disekitar saya (terutama keluarga). Setiap kali diceramahi oleh orang tua dan diminta untuk lebih serius, serta merta saya memasang tampang patuh dan mendengar sepenuh hati seperti kucing pilek. Setiap kali dinasehati oleh paman-paman (peran paman dari pihak ibu dalam budaya minang cukup sentral, dan saya minang tulen) saya dengarkan dengan wajah sungguh-sungguh (dan pikiran entah kemana). Pepatah minang yang berbunyi "iyo kan nan dek urang, laluan nan dek awak"(*) benar-benar saya terapkan dengan sempurna.

Pada akhirnya saya seperti membiarkan takdir memilihkan jalan. Hidup saya mengalir tanpa beban sekaligus tanpa tantangan. Sampai pada satu titik dimana saya dipaksa oleh orang tua untuk memilih antara menikah atau melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Hal ini tak bisa ditawar sedikitpun. Dan saya terpaksa memilih untuk kembali kuliah karena saat itu tidak tau siapa yang akan saya ajak menikah!!

Tapi semua ada hikmahnya, dengan keterpaksaan itu saya jadi punya tujuan. Dan lagi tujuan jangka pendek, yaitu menamatkan S2. Singkat cerita, saat masih menjalani kuliah saya mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai negeri yang saya ambil dengan setengah hati. Sempat terpikir kalau nanti rasanya tidak cocok saya akan berhenti. Bukan pekerjaannya yang saya takuti, tapi konsekuensi setelah saya bekerja. Pasti ada tuntutan lanjutan setelahnya, yaitu menikah. Hal yang cukup menyeramkan bagi bujangan yang hidup tanpa perencanaan. Tapi saat itu saya masih punya tameng karena kuliah saya belum selesai. 

Dan... Saudara-saudara sebangsa setanah air yang saya cintai, ternyata benar, ketika kuliah kelar desakan datang dari segala penjuru. Ketika akhirnya saya menjalani sebuah hubungan yang semestinya bermuara pada pernikahan, saya menjalaninya setengah hati. Kebiasaan lama yang sudah mendarah daging yang selalu terulang, dengan motto "jalani saja, kalau jodoh tidak akan kemana", tapi disana tidak ada niat yang sungguh-sungguh dari hati terdalam. Saya hanya memasrahkan takdir untuk memilihkan. Saya hanya menjalani sebuah proses namun gamang dengan tujuan dari proses tersebut. Persis dengan kata-kata Kang Hoffer diawal tulisan "We would rather be always on the way than arrive". Saya melupakan tujuan!

Semua proses yang saya ceritakan diatas menyadarkan saya untuk segera berubah. Saya sudah tidak bisa lagi sekedar berproses tanpa bertujuan untuk mengambil manfaat atau memetik hasil dari proses tersebut. Karena tidak ada yang perlu ditakutkan ketika sampai pada satu tujuan, setelahnya pasti ada tujuan lebih lanjut yang juga membutuhkan proses lain untuk mencapainya.

Akhirnya saya sadar, walau mungkin terlambat (biarin!! yang penting sadar) saya harus menetapkan tujuan. Meniatkan dengan sungguh-sungguh untuk mencapai tujuan (Tepuk tangan!!). Untuk semua sisi kehidupan yang saya jalani saya harus menetapkan tujuan, merencanakannya dengan baik, dan melaksanakan apa yang saya rencanakan dengan sebaik-baiknya.

Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan dari tulisan diatas yang berputar-putar kesana kemari seakan-akan tanpa tujuan bahwa tujuan terdekat yang harus saya capai saat ini adalah pernikahan. Hanya butuh sedikit kenekatan (tentu saja yang terukur) untuk mewujudkannya. Dengan niat yang sudah bulat, Insya Allah akan dimudahkan walau hingga tulisan ini selesai target operasi masih belum jelas!! Bwahahahahahaha..........


(*) iyakan saja apa kata orang, tapi tetap lakukan apa yang kita inginkan (kurang lebih begitulah artinya)

Jumat, 03 Mei 2013

Logika Penjudi

Kebetulan tadi saya dapat giliran ronda. Jadwal ronda saya setiap malam sabtu. Kegiatan rutin yang membosankan tapi perlu dilakukan. Satu kali seminggu, tapi itu mungkin satu-satunya media sosial yang menghubungkan saya dengan lingkungan tempat tinggal saat ini, namanya juga pendatang baru.

Yang hendak saya bahas disini bukan tentang ronda, media sosialisasi, dll. Akan tetapi kejadian sepele saat saya ronda. Salah satu teman ronda berselancar di dunia maya melalui handphone tepat saat jam 12 malam berlalu. Hal itu rutin dilakukannya setiap kali ronda. Karena penasaran, saya akhirnya bertanya.
"liat apaan sih mas?"
"hehehe... liat nomer bro"
Hohohoho..... ternyata dia cuma rutin melototin angka-angka yang keluar setiap hari dari judi togel yang dipasangnya. Katanya sih putaran Shanghai. Artinya nomor yang keluar adalah nomor yang resmi dikeluarkan oleh bandar judi besar di Shanghai. Naahhh... nomor itulah yang dijadikan patokan oleh bandar judi lokal untuk menentukan angka yang keluar. Katanya sih supaya lebih terbuka dan terpercaya, soalnya dengan demikian, bandar judi lokal tidak bisa mengotak-atik nomor yang akan keluar untuk menghindari kerugian jika  banyak penjudi yang menang besar karena nomor yang dipasangnya keluar.

Tiba-tiba saya mendengar makian yang keluar dari mulutnya. Lantas saya bertanya
"kenapa marah-marah mas?"
"ini lho, nomor yang kupasang nyaris kena. Aku pasang 813 tapi yang keluar malah 863, cuma beda satu angka" jawabnya sambil terus menggerutu.
Saya cuma tersenyum (maniiiisssss sekali)

Lantas pikiran saya melayang memikirkan kejadian tersebut (namanya juga ronda, cuma duduk-duduk ngga ada kerjaan). Teringat kata-kata teman saya tadi "nomor yang kupasang nyaris kena". Uuuppss... Ada yang salah disini. Teringat pelajaran dari masa lalu tentang probabilitas. Itu berarti tidak ada istilah "nyaris kena" dalam judi togel karena semua angka memiliki peluang yang sama untuk keluar,mulai dari 000 sampai 999 (berarti ada 1000 angka yang bisa dipasang). Untuk pasangan tiga angka, setiap angka mempunyai peluang yang sama sebesar 1/1000.

Bayangkan, kemungkinan menang bagi penjudi cuma 1/1000. Disisi lain bandar memiliki peluang menang sebesar 999/1000. Benarlah pameo yang menyatakan "bandar tidak mungkin kalah". Memang hitungannya tidak sesederhana itu karena banyak orang yang memasang taruhan dengan memasang nomor yang berbeda-beda. Tapi hitungan bodohnya, kecil sekali kemungkinan bagi bandar untuk rugi.

Bandar baru bangkrut seandainya seluruh petaruh memasang nomor yang sama dan nomor itu keluar. Hal yang hampir mustahil terjadi dalam kenyataan. Kalau itu terjadi, maka bandar yang buntung tersebut akan dinobatkan menjadi bandar judi paling sial sepanjang sejarah perjudian dan bahkan sepanjang sejarah kemanusiaan dan namanya akan dikenang sepanjang masa!

Kembali pada teman saya tadi, seandainya dia menggunakan logika yang sehat, dia pasti akan berhenti berjudi. Tapi judi adalah candu yang dipenuhi dengan "siapa tahu". Siapa tahu sekarang saat keberuntungan saya. Sementara bandar berkata "sudah pasti saya lah yang untung".

Seandainya para penjudi itu menggunakan logika. Tidak usahlah menjejak pada persoalan bahwa judi dilarang agama, melanggar hukum, dll. Cukup menggunakan logika yang sehat. Saya yakin masalah probabilitas sudah diajarkan di sekolah. Sayangnya pelajaran sekolah kebanyakan hanya berputar-putar di dalam ruang kelas dan menari-nari dihalaman buku. Pelajaran yang langsung menguap entah kemana saat si pembelajar tadi masuk ke dunia nyata. Sebuah ketidakmampuan dalam mengimplementasikan teori kedalam praktek.
Mungkin saya terlalu jauh melenceng, akan tetapi menurut saya logika penjudi tadi merupakan salah satu bukti kegagalan pendidikan kita.