"A true saying it is, Desire hath no rest, is infinite in itself, endless, and as one calls it, a perpetual rack, or horse-mill."
[St. Augustine, cited in Robert Burton's 1621 Anatomy of Melancholy]
[St. Augustine, cited in Robert Burton's 1621 Anatomy of Melancholy]
Entah apa yang ada dalam pikiran saya hari ini, hari libur tapi tidak dimanfaatkan dengan maksimal untuk tidur. Saya malah melakukan hal absurd dengan mandi pagi di hari libur. Setelahnya jadi bingung mau ngapain. Akhirnya saya putuskan untuk menulis. Topik kita kali ini adalah Hedonic Treadmill. Tapi bahasannya tidak bakal terlalu berat dan mendalam, soalnya kalau terlalu mendalam malah bisa jadi artikel ilmiah dan saya tak sanggup untuk itu. Seperti biasa, isi tulisan hanya akan berkutat pada interpretasi pribadi saya terhadap hal-hal yang saya anggap menarik walau belum tentu itu merupakan hal yang penting.
Awal mula saya mendengar tentang Hedonic Treadmill adalah ketika adik saya membagi tulisan tentang hal ini dalam grup keluarga pada sebuah aplikasi obrolan. Saya merasa tertarik, kemudian saya menjelajahi dunia maya untuk mencari tahu lebih banyak tentang hal ini. Ternyata ulasan ilmiah mengenai hal ini sudah banyak dibahas dalam artikel-artikel pada jurnal-jurnal ilmiah internasional. Banyak hal menarik dalam ulasan pada artikel-artikel tersebut, tapi tidak mungkin saya cantumkan dan bahas disini karena cabang bahasan yang sangat luas (gw cm mau bikin tulisan singkat cuk, bukan bikin buku).
Kata hedonisme diambil dari Bahasa Yunani hedonismos dari akar kata hedone yang artinya "kesenangan". Sedangkan Hedonisme menurut KBBI adalah pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Sedangkan treadmill yang dimaksud disini adalah treadmill (anjrriiit, penjelasan gw sama sekali tidak menjelaskan apa2, lu googling aja dah kalo ngga tau gimana wujud nih barang). Iya, pokoknya treadmill itu alat olahraga bagi orang yang cukup malas untuk berolahraga di luar rumah, (bisa sih menggunakan treadmill di luar rumah, tapi kurang kerjaan banget kan??).
HEDONIC TREADMILL
Konsep ini awalnya dilontarkan oleh dua orang psikolog (Philip Brickman dan -entah-siapa-Campbell) dengan nama Hedonic Adaptation, kemudian disempurnakan oleh Michael Eysenck, hingga menjadi konsep yang saat ini dikenal dengan nama Hedonic Treadmill. Hedonic treadmill itu sendiri kurang lebih adalah kecenderungan manusia untuk kembali pada tingkat kebahagiaan semula meskipun dalam kehidupannya terjadi perubahan (baik perubahan yang bersifat positif ataupun negatif). Sederhananya, dalam jangka panjang, apapun yang terjadi pada diri seseorang --entah itu hal baik ataupun buruk, menyedihkan atau membahagiakan-- tidak akan memberikan dampak yang signifikan terhadap tingkat kebahagiaannya. Lebih singkat lagi dapat disimpulkan bahwa tingkat kebahagiaan seseorang dalam jangka panjang adalah (relatif) sama.
Mungkin banyak diantara pembaca yang budiman maupun yang bajingan, merasa tidak sepaham dengan konsep/teori ini. Tapi berdasarkan beberapa penelitian, seperti itulah hasilnya (nooh gw kasi contoh sebiji, klik ini barang bukti). Sebenarnya banyak contoh sederhana di dunia nyata yang bisa membuktikan hal ini.
CONTOH JIKA YANG TERJADI ADALAH HAL POSITIF
Misalkan keinginan kita untuk memiliki gawai (iya bener, ini terjemahan baku dari kata gadget) canggih keluaran terbaru. Sebelum memilikinya sering terbayang betapa kerennya bisa memiliki gawai dengan kemampuan luar biasa bla.. bla.. bla.., dll, dst, dsbg. Ketika akhirnya kita mampu memiliki benda tersebut dengan berbagai pengorbanan (misalnya, mendadak rajin puasa sunat) maka tingkat kebahagiaan akan naik. Seiring berjalannya waktu (berdasarkan pengalaman pribadi saya, paling-paling 1 bulan untuk ponsel) ketika benda tersebut sudah menjadi hal yang biasa, maka perlahan-lahan kebahagiaan yang ditimbulkannya mulai menurun dan lama kelamaan akan membuat tingkat kebahagiaan kita kembali pada tingkat sebelum memiliki benda tersebut. Itu hanyalah sekedar contoh sederhana yang teramat sangat sederhana.
CONTOH JIKA YANG TERJADI ADALAH HAL NEGATIF
Agar muncul kesetaraan, maka disini saya contohkan seandainya gawai yang baru dibeli tadi dalam jangka waktu 3 hari lenyap tak berbekas digondol maling (Beeuugghhh... kebayang kan gimana remuk redamnya perasaan). Ketika hal ini terjadi maka tingkat kebahagiaan akan menurun. Seiring berjalannya waktu (kalo kehilangan, mungkin butuh waktu lebih lama untuk melupakan, 3 bulan deh) ketika pahit getir kehilangan sudah mulai terlupakan maka tingkat kebahagiaan perlahan akan kembali naik dan kembali ke level normal.
Sekali lagi saya tekankan, hal diatas hanyalah contoh yang sangat sederhana. Hal ini juga berlaku untuk hal yang lebih besar. Memang tak dapat disangkal bahwa jika gawai tadi tidak hilang, maka anda akan lebih bahagia. Akan tetapi, kalaupun benda tersebut hilang, dalam jangka panjang hal tersebut tidak akan membuat anda menjadi lebih tidak bahagia. Jangan remehkan kemampuan adaptasi manusia terhadap cobaan yang datang, apapun wujud cobaan itu (itulah kenapa pada awal kemunculannya konsep ini dikenal dengan nama Hedonic Adaptation). Anda akan beradaptasi dan mulai mencoba berdamai dengan keadaan. Mungkin dengan jalan berusaha lebih keras, mengumpulkan uang lebih banyak untuk membeli gawai yang lebih canggih. Dan ketika anda akhirnya bisa membeli gawai yang lebih canggih, kebahagiaan anda akan kembali meningkat untuk kemudian turun lagi secara perlahan. (Nahhh lo, dah kelihatan kan treadmill-nya?)
UANG DAN KEBAHAGIAAN
Dalam paragraf sebelumnya saya menyinggung tentang "mengumpulkan uang lebih banyak". Bahasannya akan sedikit melebar tapi saya rasa ini perlu karena Hedonic Treadmill seringkali dicontohkan dengan hal ini. Penelitian yang berusaha mencari hubungan antara uang dan kebahagiaan sebenarnya cukup banyak dilakukan. Salah satu pakar yang meneliti hal ini adalah Daniel Kahneman, seorang ahli “financial psychology” yang juga pemenang nobel ekonomi 2002. Dalam penelitiannya, ia mengemukakan istilah income threshold. Inilah titik batas pendapatan (income) yang akan menentukan apakah uang masih berdampak pada kebahagiaan atau tidak. Sebelum pendapatan menembus ambang batas (threshold) itu, maka uang memiliki peranan yang signifikan dalam menentukan kebahagiaan. Namun begitu pendapatan sudah menembus ambang batas itu, maka uang tidak lagi berperan besar dalam menentukan kebahagiaan. Berdasarkan penelitiannya, Kahneman mengemukakan bahwa income threshold untuk Amerika Serikat kira-kira $6000/bulan. Kalau dikonversikan dengan mempertimbangkan biaya hidup rata-rata dan faktor-faktor lainnya, mungkin sekitar Rp15-20 juta perbulan untuk Indonesia.
Dalam kaitan antara uang dan kebahagiaan, hedonic treadmill akan terjadi saat income threshold sudah tercapai/terlewati. Kasarnya, kebahagiaan anda saat memiliki penghasilah Rp 20 juta tidak akan berbeda jauh ketika anda memiliki penghasilan Rp 50 juta. Ilustrasinya, ketika dengan pendapatan Rp 20 juta anda akan merasa cukup dengan memiliki rumah tipe 100 dengan model sederhana, akan tetapi ketika pendapatan anda mencapai Rp 50 juta anda akan berkeinginan untuk memiliki rumah dengan tipe lebih luas dan model yang lebih bagus. Hal ini juga berdampak pada barang-barang lain yang bukan merupakan kebutuhan pokok, misalkan dulu cukup punya Avanza sekarang diganti Alphard, dulu cukup kamera saku sekarang ingin yang DSLR, dll. Padahal itu hanyalah sebuah keinginan bukan keperluan. Bisa jadi ada pertimbangan logis saat anda memutuskan untuk mengganti benda-benda tersebut dengan yang lebih baik (yang otomatis juga lebih mahal) tapi disini yang menjadi pokok bahasan adalah kaitannya dengan tingkat kebahagiaan anda dalam memiliki benda-benda tersebut. Fakta dari berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa tingkat kebahagiaan anda akan relatif sama setelah mendapatkan benda yang anda inginkan. Dan siklus ini akan terus terjadi sesuai dengan kodrat manusia pada umumnya. Bahkan ketika penghasilan anda sudah berada pada angka Rp 100 juta per bulan, anda akan tetap menginginkan lebih meskipun dalam kenyataannya hal itu tidak akan menaikkan tingkat kebahagiaan. Saat itu tanpa disadari anda sudah berlari terengah-engah kelelahan di atas mesin bernama hedonic treadmill.
Lantas apakah salah ketika kita menginginkan lebih dan lebih lagi? Menurut saya itu tidak salah, yang penting adalah cara kita menyikapi kelebihan itu. Dengan syarat, dasar kita menginginkan lebih bukanlah ketamakan. Apa pembatas yang bisa membuat kita menyadari bahwa enough is enough. Secara pribadi saya tidak begitu menyukai batas-batas berupa angka seperti yang dikemukakan Kahneman. Menurut saya income threshold adalah titik dimana seluruh kebutuhan pokok kita dapat terpenuhi. Anda bisa merasa kaya ketika sudah tidak lagi memikirkan rumah untuk anda berteduh, pakaian yang akan anda gunakan, tidak pusing lagi memikirkan apa yang akan dimakan, dan memiliki kendaraan untuk digunakan (terserah apapun jenisnya).
SOLUSI
Selanjutnya, bagaimana cara melepaskan diri dari hedonic treadmill ini? Mungkin solusinya terdengar utopis, klasik dan terlalu standar. Saatnya berbagi. Ya, sesederhana itulah solusinya. Kalau tidak percaya, anda bisa melihat bagaimana orang-orang terkaya dunia pada akhirnya menjadi filantropi dengan mendirikan yayasan sosial kemanusiaan untuk berbagi dengan sesama. Saya yakin bahwasanya mereka sedang mencari kebahagiaan hakiki dengan jalan membuat orang lain bahagia. Mereka sudah menyadari bahwasanya tumpukan harta mereka tidak akan menambah tumpukan kebahagiaan di dalam dada mereka.
Andrew Carnegie, seorang pengusaha besar pada akhir abad 19 dan awal 20 merupakan seorang filantropi terkenal yang menyumbangkan 90% kekayaannya untuk kemanusiaan, pernah berkata
"Saya sudah bisa mendapatkan jutaan dolar, tapi rasa bahagianya tak bisa mengalahkan ketika saya mendapatkan bayaran mingguan pertama saya"
Ucapannya ini menurut saya bisa membuktikan kebenaran konsep hedonic treadmill dengan singkat dan gamblang.
SIMPULAN
Semakin ingin anda mengejar kebahagiaan melalui materi hanya akan membuat anda semakin lelah dan pada akhirnya anda menyadari bahwa kebahagiaan anda tetap di tempat. Anda sudah membuang waktu mengejar dengan cara sia-sia. Sama seperti orang yang berlari diatas treadmill yang tidak membawa mereka kemana-mana sekencang apapun mereka berlari.
Setelah uraian diatas (yang semoga tidak sesat dalam menginterpretasikan konsep hedonic treadmill) marilah kita mencoba untuk melepaskan diri dari jebakannya. Pastinya tidak mudah, apalagi dalam kondisi sosial seperti saat ini. Minimal kita bisa memperlambat langkah saat mengendarainya. Jangan sampai berlari terengah-engah dan terjebak dalam kecepatan yang tidak dapat kita kendalikan. Bahagia itu sederhana, ketika kita merasa cukup dengan apa yang kita dapat dan mampu memanfaatkan apa yang kita punya secara maksimal. Bukan hanya untuk diri kita tapi juga untuk berbagi dengan orang lain dimulai dari lingkaran terdekat, misalnya keluarga. Dan untuk meningkatkan kebahagiaan kita tidak memerlukan kejutan-kejutan besar, cukup menghargai lonjakan-lonjakan kecil kebahagiaan yang konstan dan berlangsung terus menerus.
Dear Professor, you forgot to mention love as a main subject.....People are exposed to many messages that encourage them to believe that a change of weight, scent, hair color (or coverage), car, clothes, or many other aspects will produce a marked improvement in their happiness. Our research suggests a moral, and a warning: Nothing that you focus on will make as much difference as you think.
Catatan Tambahan:
- Bahasan diatas sebenarnya bisa ditarik lebih jauh ke wilayah agama, tapi takut menjadi kurang fokus dan terlalu panjang, jadi saya cukupkan sampai batas ilmiah dan tafsiran saya secara pribadi. Btw, bahasan ilmiah yang mengaitkan hal ini dengan religiusitas juga ada kok, nih contohnya Artikel.
- Tulisan ini benar-benar membuat lelah dalam proses pembuatannya. Sebenarnya saya masih kurang puas dengan tulisan di atas, tetapi sudahlah, mungkin nanti saya perbaiki sedikit demi sedikit. Andai ada masukan dan saran untuk menyempurnakannya, saya akan sangat berterimakasih.
- Salah satu orang yg gw kenal yang menurut gw mampu lepas dari jebakan hedonic treadmill ini adalah bokap gw. Contoh kecil, sampai pensiun beliau setia mengendarai motor bututnya ke kampus. Aktivitas naik motor kemana-mana ini baru berhenti setelah beliau mengalami kecelakaan sekitar pertengahan 2012. Sebenarnya anak istri sudah nyinyir mengingatkan untuk tidak naik motor tapi tidak didengarkan, keras kepalanya udah level internasional (sepertinya menurun kepada 4 anaknya) bwahahahaha...... Ketika banyak yang menanyakan kenapa bapak tidak membeli mobil, jawabannya sangat simpel "sepertinya belum butuh dan kalau kebetulan butuh saya bisa naik taksi". Nyokap juga keknya ga jauh beda, dulu pernah supir kantor bokap disuruh pulang saat nemenin belanja, beliau cuma bilang "Kamu ga usah nungguin, nanti saya pulang naik angkot aja". Semoga bukan cuma sifat keras kepalanya yang diwariskan kepada anak2nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar