Sudah cukup lama sejak tulisan terakhir saya publikasikan. Sebenarnya banyak topik-topik menarik yang bisa dibahas tapi saat malas sudah merajalela, tidak ada obat untuk menyembuhkannya. Padahal ada 11 draf tulisan yang antri untuk diselesaikan. Beberapa diantaranya mungkin tidak akan saya publikasikan karena sudah terasa basi dan yang lain saya rasa masih belum memuaskan dan belum layak untuk dipublikasikan.
Tulisan kali ini kembali ke khitah. Tulisan ringan. Kali ini saya hendak membahas kerancuan/kesalahan/salah kaprah dalam berbahasa. Inspirasinya berasal dari masalah sepele saat ngobrol dengan teman lewat sebuah aplikasi chatting. Saat sedang asyik-asyik ngobrol tiba-tiba aliran listrik di rumah saya terputus dan saya pun mengumpat. "aseeem... mati lampu disini". Dan jawabannya cukup kurang ajar "mati listrik woiii, bukan mati lampu" (heeh.. kepret *jitakin*).
Tulisan kali ini kembali ke khitah. Tulisan ringan. Kali ini saya hendak membahas kerancuan/kesalahan/salah kaprah dalam berbahasa. Inspirasinya berasal dari masalah sepele saat ngobrol dengan teman lewat sebuah aplikasi chatting. Saat sedang asyik-asyik ngobrol tiba-tiba aliran listrik di rumah saya terputus dan saya pun mengumpat. "aseeem... mati lampu disini". Dan jawabannya cukup kurang ajar "mati listrik woiii, bukan mati lampu" (heeh.. kepret *jitakin*).
Apakah ada yang salah dengan kalimat saya ketika mengatakan "mati lampu"? Saya rasa tidak, karena memang pada kenyataannya lampu yang ada di rumah saya mati semua. Kesalahan saya adalah ketika saya menyebutkan sebuah kejadian khusus untuk mewakili sebuah kejadian umum. Saya juga menggunakan sebuah (salah satu) akibat untuk menggambarkan sebab. Mati lampu merupakan sebuah akibat dari terputusnya aliran listrik.
Disamping fakta diatas, bahasa itu sendiri seringkali melibatkan rasa. Ungkapan "mati lampu" merupakan sebuah ungkapan umum yang sebenarnya sudah (dan mudah) dipahami. Ungkapan ini mungkin terlahir ketika pada zaman dahulu kala. Zaman ketika mayoritas penduduk negeri ini belum memiliki televisi, lemari es, pemanas listrik, komputer, dll yang membutuhkan listrik. Mereka hanya memiliki lampu sebagai satu-satunya alat yang membutuhkan listrik. Saya kira saat itulah istilah "mati lampu" dijadikan sebuah ungkapan untuk mewakili fakta terputusnya aliran listrik.
Pada zaman itu, mungkin mati lampu masih merupakan istilah yang relevan. Tapi untuk saat ini, sepertinya tidak. Akan tetapi bahasa bukan matematika, apalagi saat digunakan dalam situasi informal. Tidak ada batas yang jelas antara benar/salah, yang penting adalah maksud dari pesan yang dikirim dalam sebuah percakapan bisa tersampaikan dengan baik, walau belum tentu benar.
Kemudian iseng-iseng saya memperhatikan beberapa salah kaprah yang sering kita gunakan dalam percakapan sehari-hari. Contohnya "menanak nasi". Jika dipikir dengan logika, alangkah tololnya orang yang menanak nasi. Bukankah yang ditanak harusnya beras. Nasi adalah hasil yang didapat setelah beras berhasil ditanak. Tapi bukankah tidak ada masalah yang timbul ketika anda meminta pembantu untuk "menanak nasi" tapi yang ia lakukan adalah "menanak beras". Pesan yang anda berikan tetap tersampaikan dengan benar walau perintahnya salah. Bukankah hasilnya tetap seperti yang anda harapkan. Ini adalah contoh salah kaprah yang tidak bermasalah.
Kasus lain yang agak berbeda, contohnya, ketika seseorang menyebutkan "pipa besi" otomatis yang ada dalam pikiran anda adalah "pipa yang terbuat dari besi". Lantas jika ada orang yang menyebutkan "pipa minyak", apakah yang ada dalam pikiran anda adalah "pipa yang terbuat dari minyak"? Tentu tidak, yang anda pikirkan pastilah "sebuah pipa yang digunakan untuk mengalirkan minyak". Ini adalah bukti sahih bahwasanya bahasa tidak sekaku matematika, bahwa dalam bahasa kita melibatkan rasa.
Selanjutnya, saat saya membeli tiket pesawat untuk pulang kampung ataupun perjalanan dinas, saya selalu membeli "tiket PP" yang kepanjangannya adalah "tiket pulang-pergi". Logika paling tolol pun seharusnya tak akan bisa menerima, seharusnya itu adalah "tiket pergi-pulang". Untuk yang satu ini saya rasa tak perlu ada penjelasan lebih lanjut.
Kata "acuh" seringkali diartikan "tidak peduli". Demi Tuhan, anda keliru, "acuh" itu artinya "peduli". Perut saya mendadak mules jika dalam sebuah adegan percintaan dalam film saya mendengar seorang wanita berkata kepada kekasihnya "Sikap acuhmu sangat melukaiku". Benar-benar wanita yang aneh, artinya dia lebih suka dicuekin oleh kekasihnya, semakin cuek sang kekasih berarti semakin cinta! Dan bagi kaum pria, saya sarankan agar anda menjauhi wanita yang aneh seperti ini.
Selanjutnya ungkapan "diam tak bergeming", kekonyolan dalam ungkapan ini hanya akan membuat Allah, para malaikat, para rasul, beserta seluruh bidadari surga tertawa terbahak-bahak! "Bergeming" itu artinya "diam tidak bergerak". Lantas bagaimana cara memahami "diam tak bergeming"?
Mari kita uraikan;
Mari kita uraikan;
Diam = tidak bergerak
Tak = tidak
Bergeming = diam tak bergerak
Diam tak bergeming = Tidak bergerak tidak diam tak bergerak
Daripada memikirkan yang satu ini, saya lebih baik gantung diri!
Kemudian kata "standarisasi' yang sering merajalela bahkan dalam bentuk tulisan formal. Percayalah, kata "standarisasi" tak akan pernah anda temukan dalam KBBI, yang ada adalah "standardisasi". Kata ini diserap dari kata Bahasa inggris "standardization".
Lanjut yang lain lagi, seringkali kita (termasuk saya untuk hal ini) bertanya "sekarang jam berapa?". Sebenarnya ini keliru karena kata "jam" digunakan untuk "menunjukkan lamanya waktu" sedangkan untuk menunjukkan waktu, kata yang tepat adalah "pukul". Jadi, kalimat yang benar adalah "sekarang pukul berapa?". Penggunaan kata "jam" yang tepat adalah, contoh, "saya membutuhkan waktu tiga jam untuk menyelesaikan pekerjaan itu".
Dan saudara-saudaraku tercinta, hal yang lebih konyol lagi adalah ketika kita dengan semena-mena menggunakan konsep waktu untuk menggambarkan/mengukur jarak. Contoh, ketika ada yang bertanya berapa jarak dari rumah saya ke kantor, dengan tanpa dosa saya akan menjawab "kira-kira 20 menit". Sejak kapan menit digunakan sebagai ukuran jarak? Padahal ketika ada yang menanyakan berapa lama jam kerja saya dalam sehari, takkan pernah terlontar jawaban "kurang lebih 3 kilometer". Atau ketika ada yang bertanya berapa berat badan saya, tak pernah terlintas dipikiran saya untuk menjawab "kira-kira 5 kilometer lah".
Selanjutnya, pernahkah anda menggunakan kata "nuansa"? Saya yakin, sebagian besar orang berpikiran bahwa arti kata nuansa adalah suasana. Misalnya, ada orang dengan wajah polos mengucapkan kalimat "nuansa romantisnya terasa sangat kental". Keliru boi, nuansa itu artinya adalah "variasi atau perbedaan yang sangat halus atau kecil sekali (tentang warna, suara, kualitas, dsb). Saya cukup lama bergelimang dosa karena keliru dalam menggunakan kata yang satu ini. Sekaranglah saatnya untuk melakukan taubatan nasuha (tobat yang sebenar-benarnya) dari kesalahan kita memperkosa kata ini.
Terakhir, apakah anda tahu dan pernah mendengar sebuah lagu dari Dewa yang berjudul Roman Picisan. Saya sangat menyukai lagu ini, benar-benar suka. Tapi ada yang menjadi ganjalan dalam hati saya saat mendengar liriknya. Coba baca lirik pada kalimat pertama. "Tatap matamu bagai busur panah yang kau lepaskan ke jantung hatiku". Padahal sepanjang sejarah dunia yang dihiasi berbagai peperangan, belum pernah ada satu prajurit ataupun ksatria yang melepaskan busur ke arah musuh. Busur adalah alat yang digunakan untuk melesatkan anak panah. Jadi, seharusnya yang benar adalah "Tatap matamu bagai anak panah yang kau lepaskan ke jantung hatiku". Oleh karena itu, jika ada seseorang yang melepaskan busur atau menancapkannya ke dada musuh, berarti ia sudah benar-benar kehabisan senjata dan sudah benar-benar putus asa dan sedang dalam tindakan memberi perlawanan terakhir sebelum gugur.
Kesalahan/kerancuan berbahasa seperti contoh diatas hanyalah sekelumit kekeliruan yang sering kita temui dalam percakapan sehari-hari. Masih banyak contoh lain bertebaran yang menyakitkan telinga saat kita mendengarnya dan melukai mata saat kita membacanya. Beberapa adalah hal yang masih bisa ditoleransi dan sebenarnya bukanlah masalah berarti. Akan tetapi ada yang harus segera diluruskan agar anda tak terlihat konyol saat menggunakannya. Dan besar kemungkinan jika tulisan dalam blog saya juga memiliki banyak kesalahan gramatikal. Boleh kok dikritisi melalui kolom komentar. Kritik yang membangun yang akan meningkatkan kualitas perangkat bahasa yang kita miliki.
NB: Sebuah cerita kecil dari masa lalu terlintas dalam ingatan saat saya sedang gagah-gagahan menulis tentang bahasa di blog ini. Saya tersenyum pahit mengingat sejarah saya yang kelam dalam dunia bahasa. Pada satu waktu dimasa lalu nilai Bahasa Indonesia saya di rapor adalah 5, ironisnya pada saat bersamaan Bahasa Inggris saya 8. Masih terbayang tatapan garang mama tercinta yang seakan-akan hendak menelan saya bulat-bulat melihat angka 5 itu. Mama yang berprofesi sebagai guru, Guru Bahasa Indonesia pada sebuah sekolah unggulan di Kota Jambi.
NB: Sebuah cerita kecil dari masa lalu terlintas dalam ingatan saat saya sedang gagah-gagahan menulis tentang bahasa di blog ini. Saya tersenyum pahit mengingat sejarah saya yang kelam dalam dunia bahasa. Pada satu waktu dimasa lalu nilai Bahasa Indonesia saya di rapor adalah 5, ironisnya pada saat bersamaan Bahasa Inggris saya 8. Masih terbayang tatapan garang mama tercinta yang seakan-akan hendak menelan saya bulat-bulat melihat angka 5 itu. Mama yang berprofesi sebagai guru, Guru Bahasa Indonesia pada sebuah sekolah unggulan di Kota Jambi.